Senin, 13 April 2009

Penggalan kisah anak Buki-Buki-OM MISIKANE

Barangkali aku memang masih harus membaca sejumlah referensi historis agar tahu jelas bagamana gambaran Selayar di masa lalu, utamanya ketika terjadi perang antara Selayar yang dipimpin oleh seorang raja yang bernama Bulaenna Parangia dan sebuah “bangsa” dari timur yang oleh lidah orang Selayar disebut, Bangsa Serang. Aku belum jelas apa yang dimaksud adalah orang-orang dari Pulau Seram atau sebenarnya ini cuma sebutan saja, karena barangkali Serang yang dimaksud orang-orang Selayar adalah orang-orang dari timur, atau boleh jadi memang sebuah suku yang menghuni Pulau Seram. Pernah juga aku melihat sebuah pertunjukan yang melakonkan cerita Perang Bulaenne Parangia oleh Sanggar Passianak tetapi waktu itu belum terlintas pikiran untuk mencari tahu dari mana mereka menyusun skenario pertunjukan itu.

Tetapi baiklah. Mungkin ada gunanya jika kuceritakan bahwa sejak berumur tiga sampai delapan tahun, aku dan keluarga pernah tinggal di sebuah pulau di belahan timur Indonesia yang bernama Pulau Seram. Pulau ini masuk dalam kabupaten Maluku tengah, ibukotanya Masohi. Pulau ini adalah Pulau terbesar di Propinsi Maluku

Tempat tinggal kami berjarak sekitar lima belas kilometer ke arah timur dari Masohi, saat itu masuk dalam Kecematan Amahai. Ada beberapa wilayah yang dinamakan sesuai dengan jarak ukurnya, misalnya ada kampung bernama kilo satu, kilo dua, kilo tiga, dan sebagainya. Kilo tujuh dikenal sebagai kampung yang dihuni oleh mayoritas orang selayar. Di kampung itu kami pertama tinggal. Setahun kemudian baru keluarga kami ikut dengan rombongan transmigrasi ke arah timur dan mendiami sebuah lokasi transmigran bernama Kilo Dua belas. ( Di lain waktu aku akan cerita tentang Kilo tujuh).

Di belakang rumah kami di Kilo Dua Belas, ada terbentang beberapa hektar hutan yang diizikan pemerintah untuk dibuka dan digarap semampu para transmigran. Keadaan masih sangat alami waktu itu. Tak ada listrik. Jika pagi hari, kami dibangunkan kokok ayam hutan. Kalau langit cerah, di ufuk sebelah utara mencuat lereng Gunung Pinaiya. Ia begitu angkuh. Tampak melengos dan ingin menjilat awan. Dan lihatlah ke semak-semak putri malu. Coba sentuhkan ujung jarimu ke bunga yang berwarna jingga keputih-putihan itu. Daunnya seketika akan benar-benar merunduk seperti putri cantik yang baru mengenal laki-laki. Hati-hati saja, jangan sampai putri ini marah dan balik menusuk dengan durinya. Sementara di bawah semak-semak itu sesekali melintas ular panana yang tidak bisa dikatakan ular, karena berkaki empat menyerupai biawak, tetapi menurut penduduk setempat, ia bisa lebih berbahaya dari ular kebanyakan. Sekali ia menyemprot bisanya dan mengenai kulit, maka nyawa bisa meregang hanya dalam hitungan jam. Jalanan di depan rumah kami masih dalam tahap pengerasan. Puskesmas, sekolah, mesjid, gereja, dan Balai Desa yang kebetulan berdekatan dengan rumah kami, baru sementara dibangun.

Mari dilanjutkan perjalanan kita masuk hutan. Ternyata hutan-hutan yang berisi pohon-pohon tinggi di sana tidak sekedar dihuni oleh babi, rusa, ular atau kusu ( kus-kus), tetapi juga manusia! Yang laki-lakinya bertelanjang dada dan berikat kepala merah. Jika masuk kampung, mereka terkadang membawa serta anjing-anjing mereka dan di bahu, melintang tombak atau busur panah. Sementara yang perempuan menutup badannya sampai bagian atas dada dengan kain. Di kepala menjunjung buntalan kain atau keranjang yang entah apa isinya. Merekalah dikenal sebagai Orang-Orang Naulu, suku asli penghuni Pulau Seram.

Walaupun habitat mereka di hutan, tetapi ada pula yang sudah hidup bermasyarakat, menyekolahkan anaknya sampai jadi dokter. Jika ada yang ingin menebang pepohonan di hutan, adalah lebih baik jika setelah minta izin di Departemen Kehutanan, minta izin pula pada kepala suku mereka. Karena kalau saran ini tidak diindahkan, maka siap-siap saja. Sementara asyik-asyik menebang kayu dengan chain saw, bisa-bisa ada anak panah yang meluncur di bawah selangkangan. Tidak sampai kena memang, karena mereka juga masih punya nurani, tidak ingin mencelakakan orang. Mereka hanya ingin menakut-nakuti saja. Ya, konon mereka memang punya keahlian “Panah pantul”. Mereka bisa menjatuhkan kusu yang berada dalam posisi yang tidak bisa dibidik langsung, tetapi dengan memantulkan anak panah pada dahan pohon yang berada di dekat sasaran.

Ada beberapa Orang Naulu yang akrab dengan Bapak. Sesekali mereka bertandang ke rumah. Nama mereka aneh-aneh. Misikane, Sekelima, dan Natu. Kepala suku mereka dipanggil Bapa Tasa. Om Misikane ini yang paling sering datang ke rumah dan ngobrol panjang dengan bapak dalam bahasa Melayu logat Maluku. Jika diamat-amati, lidah mereka nampaknya tidak bisa membedakan bunyi “p” dan “B”, bahkan cenderung terbalik-balik. Kalau kata “pintu”, mereka sebut “bintu”. Botol mereka bilang “potol”. Misalnya ketika istri Om Misikane pernah cerita, “Dong sering buka bintu dan ambil potol-potol di rumah”(Dia sering membuka pintu dan ambil botol-botol di rumah).

Melalui tukar cerita dan pengalaman antara Bapak dengan orang-orang naulu inilah kemudian terjalin keakraban, sebab mereka meyakini bahwa nenek moyang mereka dan nenek moyang orang Selayar memiliki jalinan historis di masa lalu. Seperti apa hubungan itu? Dimulai dengan cerita Om Misikane bahwa keluarga mereka pantang makan nasi. Ini sudah menjadi sumpah nenek moyang mereka, bahwa mulai dia dan keturunannnya tidak boleh makan nasi, karena di batang padilah Si nenek moyang ini bersembunyi sehingga bisa selamat dari kejaran orang-orang selayar.

Bapak ganti bencerita bahwa memang di zaman dulu pernah terjadi peperangan antara Selayar dan Seram. Sebelum menyerang Selayar, suku kanibal itu terlebih dahulu mengirim tiga orang teliksandi yang terbukti gagal melakukan pengintaian karena keburu tewas dijebak oleh tentara Selayar di sebuah tempat di sebelah timur Selayar bernama Baba’ang. Jenazah Tiga orang teliksandi ini kemudian dimakamkan secara layak di pekuburan Buki Toa di Daerah Buki-buki. Ini membuat Om Misikane senang, bahwa jenazah nenek moyangnya diberi tempat di Selayar. Sebagai tanda terima kasihnya kepada “orang selayar”, Om Misikane mempersilahkan Bapak mengolah tanah seram seberapa pun luasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar