Senin, 13 April 2009

Penggalan kisah anak Buki-Buki-KILO TUJUH, KAMPUNG ORANG SELAYAR DI TANAH SERAM


Beberapa waktu yang lalu ada keluarga yang menelpon dari Seram. Mereka mengabarkan akan pulang ke Selayar tidak lama lagi. Keluarga ini tinggal di Masohi, ibu kota Kabupaten Maluku Tengah. Ketika kutanyakan, apa masih ada orang yang menghuni Kampung Kilo Tujuh? Keluarga ini menjawab, masih ada beberapa keluarga. Kampung Kilo Tujuh, Kampung orang Selayar di tana$h Seram ini memang mulai ditinggal pergi penduduknya ketika terjadi konflik SARA tahun 1999.

Kata Ammak, Ketika datang pertama kali di Tanah Seram pada tahun 1985, saat aku masih berumur tiga tahun, kami tinggal di kampung itu. Kami kembali ke Selayar tahun 1990, Sembilan tahun sebelum konflik SARA pecah.

Dan Kalau mau bercerita, apa yang bisa diingat oleh anak yang baru berumur tiga tahun, yang memori di otaknya baru aktif sedikit? Yang sempat terekam dalam “memori kecilku” adalah, pada suatu hari, air kali yang mengalir memotong jalan di bawah jembatan kecil di tengah kampung, meluap dan membanjiri kampung. Untungnya orang-orang Selayar yang tinggal di sini membangun rumah sama seperti rumah-rumah mereka di kampung halaman, yakni rumah panggung. Sehingga air yang meluap dari kali tempat mandi mereka itu hanya menggenangi kolong rumah. Tak ada korban jiwa.

Momen-momen yang terekam olehku adalah, banjir itu terjadi pagi hari ketika hujan turun tanpa henti sejak malam. Pagi itu Balita Aku diberi makan bubur dengan sendok kecil dan piring kecil bergambar tiga orang anak cina gundul yang sedang memikul sesuatu di pundak mereka. Mereka nampak seperti Bo bo ho. Kenapa momen ini bisa terekam? Mungkin karena saat makan itu tiba-tiba sendok kecilku jatuh ke selah-selah lantai bambu dan meluncur turun ke kolong rumah, lalu dibawa air bah entah ke mana.

Dalam keping memori lain, aku teringat ada seorang anak kecil beberapa tahun lebih tua dari usiaku yang tewas tertimbun longsoran tanah galian selokan, dan baru ditemukan keesokan harinya, tetapi ini terjadi bukan pada saat banjir tetapi beberapa tahun setelah banjir surut. Di kampung itu pernah pula tinggal orang selayar yang punya pekerjaan sebagai penangkap buaya. Ia menangkap buaya hidup-hidup, diikat, dikuliti, dan kulit buaya ini dijual.

Kembali ke Kampung Kilo Tujuh. Kampung ini adalah deretan rumah panggung yang ditata di kiri-kanan jalan yang membentang dari barat ke timur. Ujung kampung di sebelah timur adalah sungai. Sebuah jembatan beton dibangun menghubungkan Kilo Tujuh dengan Kilo Delapan di sebelah timur. Sementara itu jalanan yang melintasi Kilo Enam di sebelah barat waktu itu, masih diapit hutan belukar.

Kampung ini dihuni oleh puluhan kepala keluarga asli Selayar. Mereka bekerja sebagai petani dan pedagang. Tanaman yang mereka usahakan antara lain cokelat dan sayur-mayur. Di antara mereka ada pula yang menjadi pengusaha angkutan. Dan nampaknya penghidupan mereka di tanah rantauan ini cukup mapan sehingga setelah kerusuhan reda, ada beberapa orang yang pada mulanya kembali ke Selayar di awal kerusuhan, kembali lagi ke Seram.

Ketika kami sekeluarga pindah ke Kilo dua belas, kami masih sering mengunjungi keluarga kami di Kilo Tujuh pada hari-hari libur atau setiap ada kenduri seperti pesta khitanan atau pesta pernikahan. Di malam minggu biasanya diadakan pertandingan bulu tangkis berhadiah di kampung Kilo tujuh. Aku sendiri menghabiskan waktu sepuasku berenang dan main kapal-kapalan gaba-gaba di kali bersama anak-anak lain. Kali kecil yang mengalir memotong tengah kampung ini airnya sangat jernih, karena disaring secara alamiah oleh pasir dan kerikil-kerikil sebesar biji kelereng di dasar kali. Tempat mandi dan mencuci dibikinkan atap dari seng.

Sedikit atau banyak, Kilo Tujuh adalah salah satu fragmen yang telah menyimpan kenangan dalam hidupku dan juga tentunya bagi orang-orang Selayar yang pernah tinggal di sana. Kerusuhan, konflik SARA dan ada juga yang bilang, Perang agama, yang entah disulut oleh siapa, telah banyak mengubah keadaan kampung itu menjadi sepi. Sementara bagi yang bertahan, setiap saat harus senantiasa waspada bila pecah lagi kerusuhan.

Aku sendiri tak tahu kapan akan kembali ke sana. Mungkin aku akan pulang untuk mencium segepok Tanah tempat musuh moyangku yang turut membesarkanku itu, atau sekedar mencari sendok kecilku yang ditelan air bah ketika terjadi banjir di Kilo Tujuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar