Senin, 13 April 2009

Aku, Barzanji, Dan Maulid Di Kampungku


Sewaktu kecil, ada dua buah kitab "keramat" yang kukenal, yang pertama bernama Al Quran, dalam bahasa kami disebut koraang, sebuah kitab tebal yang sering dibaca oleh bapak dengan dilagu-lagukan, dan yang tidak kalah keramatnya adalah, sebuah kitab lebar bersampul warna merah setebal kurang lebih dua sentimeter bernama barzanji (barasanji).

Kedua kitab itu tidak boleh dilangkahi. Kapalli' (pamali), kata Ammak (mama). Nanti bisa terkencing-kencing. Apalagi kalau diduduki, pantat bisa kena bisul.

Pernah aku bertanya pada Bapak mengenai gambar yang terdapat di lembar pertama kitab barasanji. Ada lingkaran dan di dalamnya ada semacam kotak berwarna hitam. "Itu Makkah", kata Bapak. "Tempat lahirnya Nabi Muhammad". Aku mengiya saja. Belum tahu kalau yang dimaksud Bapak sebetulnya adalah Ka'bah, dan Ka'bah itu ada di Mekah. Di Mekah itu pula lahir manusia mulia yang namanya selalu disebut orang saat mengucapkan dua kalima syahadat.

Barazanji... Aku sama sekali blank dengan kitab yang satu itu. Aku hanya pernah dengar dari Bapak bahwa barazanji itu adalah kumpulan cerita tentang Nabi. Barzanji dibaca dengan irama tertentu di kampungku jika ada yang meninggal. Acara Membaca barzanji disebut akrate'.

Belakangan, tradisi membaca barzanji perlahan-lahan mulai ditinggalkan karena ada beberapa kalangan yang memandang "sinis" terhadap barzanji. Mereka takut jika Al-Quran nanti tersaingi. Barazanji juga dibaca pada saat ada acara maulid nabi. Acara maulid di kampungku dikemas dengan acara khusus yang disebut ambelu'. Acara ini biasanya bertempat di dalam mesjid, dihadiri oleh pemuka kampung, para parate' (orang yang membaca barazanji) dan muda-mudi. Dengan diiringi alunan rate', nona-nona kampung berbaju bodo atau istilahnya para tulolo melipat-lipat daun pandan yang sudah dipersiapkan sebelumnya lalu dimasukkan ke dalam sebuah tabung bambu yang bernama balehang.

Selanjutnya, anak-anak muda berpakaian sarung dan kopiah atau tu taruna mengambil daun pandan yang sudah terlipat lalu diiris tipis-tipis. Cukup sederhana tetapi menurut yang tua-tua acara ini sangat mengasyikkan, sebab acara ini bisa menjadi ajang pencarian jodoh. Konon, tu lolo tidak memberikan balehang-nya ke sembarang tu taruna, karena pada zamannya, biasanya balehang merupakan semacam lambang ungkapan hati.

Acara ini menjadi tontonan masyarakat. Kalau ruangan mesjid terlalu sempit, mereka berebutan mengintip dari balik kaca jendela. Sayangnya, di generasi kami, acara ini juga sudah mulai ditinggalkan, dan diganti dengan ceramah dari uztad. Aku sendiri baru satu kali menyaksikan acara ambelu'. Kelihatannya memang klasik, tapi asyik. Tapi sebagaimana tradisi-tradisi lainnya, acara ambelu' juga punya aturan tersendiri. Jangan coba-coba berkata kurang sopan atau berbuat yang dianggap kurang ajar dalam acara yang dijunjung tinggi kesakralannya itu, kalau tidak mau dihadiahi bogem mentah oleh yang punya adat. Bahkan di zaman kakek-buyut, salah sedikit, konon badik bisa bersarang di dada. Ternyata ada juga seramnya.

Kembali ke barzanji. Aku pernah agak iritate dengan kitab itu karena terpengaruh dengan pendapat bahwa membaca barzanji adalah bid'ah, tidak pernah dilakukan oleh nabi. Belakangan baru aku tahu bahwa lahirnya kitab barzanji memang tidak lepas dari tradisi peringatan maulid nabi setiap tanggal 12 rabiulawal. Maulid Nabi pertama kali digagas oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi atau Sultan Saladin yang pernah memerintah Mesir dan mengusir tentara Salib dari Yerussalem pada akhir abad 12 M. Mulai tanggal 12 Rabiulwal 850 H (1184 M), Sultan Saladin menetapkan sebuah acara untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW guna membangkitkan kembali semangat umat Islam yang agak luntur sekaligus sebagai upaya untuk menandingi peringatan Natal umat nasrani.

Gagasan ini sebenarnya datang dari ipar Sultan Saladin yang bernama Muzaffaruddin Gekburi. Untuk memeriahkan maulid, Sultan mengadakan sayembara menulis riwayat nabi yang diikuti oleh seluruh ulama dan sastrawan. Keluar sebagai pemenang sayembara adalah Syaikh Ja'far Al-Barzanzi bin Husin bin Abdul Karim dengan karyanya yang berjudul Iqd-Al Jawahir (Kalung Permata).

Kitab inilah yang dikenal dengan nama Kitab Barzanji. Ketika Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh para ulama pedagang dari Arab dan Gujarat beberapa abad kemudian, kitab ini turut diperkenalkan, dan akhirnya menyatu ke dalam tradisi masyarakat setempat dan berkembang sesuai dengan versi masing-masing, termasuk dalam tradisi akrate' dan ambelu' pada masyarakat Selayar.

Rawa Rotan, Banten, 16 Juli 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar