Senin, 13 April 2009

Angngahung

Penggalan Kisah Anak Buki-buki (Angngahung)

Jika musim petik jagung hampir tiba, kebun jagung harus dijaga dari hama babi hutan, hewan liar yang sering menjebol pagar bambu dan menyikat tanaman tanpa ampun.

Demi berhasilnya panen, kami sekeluarga harus minggat sementara dari kampung dan menginap beberapa lama di kebun. Kadang sampai berminggu-minggu. Acara menginap dan menjaga kebun ini diistilahkan dengan angngahung, yang arti harfiahnya: menghuni. Apa yang dihuni?. Ya, kebun.

Di kampung kami, untuk mencegah jarahan babi hutan di beberapa tempat, utamanya di sudut-sudut kebun, dipasang orang-orangan atau tau-tau yang terbuat dari kayu atau bambu yang disilang, lalu dipakaikan baju bekas sehingga babi yang yang akan masuk ke kebun menyangka kalau yang punya kebun sedang mengintai dia dua puluh empat jam.

Ada juga alat yang disebut lapa-lapa. Alat ini terbuat dari bambu panjang yang dibelah mulai dari ujung sampai bagian tengahnya lalu ditanam ke tanah. Ada tali yang diikatkan pada kedua ujung bambu yang telah lentur karena dibelah itu. Tali dibentangkan sampai ke barung-barung (dangau). Jika tali ditarik, ujung bambu ikut tertarik keluar dan ketika tali dilepas gerakan ujung bambu akan kembali dan saling menghantam satu sama lain secara berulang-ulang. Ini akan menimbulkan bunyi; lapa! lapa! lapa! Mungkin nama alat ini berasal dari bunyi yang dikeluarkannya.

Bunyi lapa-lapa diyakini dapat menakut-nakuti babi hutan. Masih ada lagi alat pengusir babi yang dinamakan billi-billi. Billi-billi adalah alat tiup yang terbuat dari bambu seukuran jari kelingking lalu dibalut dengan daun kelapa sebagai corongnya. Billi-billi, selain dapat dipakai sebagai alat pengusir babi dengan suaranya yang "mendayu-dayu", mungkin dapat pula dipakai untuk mengusir kantuk bagi para pangahung. Tetapi sepanjang ingatanku, Bapak belum pernah membuat billi-billi atau pun lapa-lapa.

Bapak memang agaknya tidak mau susah membuat "mainan" seperti itu. Beliau hanya sering memasang tau-tau, atau memasang jebakan babi yang dipasang pada lobang yang sengaja dibuat di bawah pagar. Lobang ini seakan-akan seperti jalan masuk babi, tetapi begitu kepala babi nongol dari lobang yang digali ke samping itu, tap!, lehernya langsung terjerat oleh tali kopling yang terpasang di sana.

Jebakan ini namanya jango. Sayangnya, jango bapak sering "payah". Seingatku, belum pernah satu kali pun berhasil menjebak babi. Yang lebih sering adalah, kebobolan. Mungkin babi-babi ini adalah babi hutan senior yang sudah berpengalaman. Pertama kali ikut anggahung ketika duduk di kelas empat Sekolah Dasar.

Sepulang dari sekolah, aku langsung berjalan ke kebun yang jaraknya beberapa kilometer dari kampung. Aku berjalan naik-turun bukit, melintasi kebun demi kebun, dan sebuah pekuburan!. Walaupun siang bolong, ketika melintasi pekuburan ini, aku akan melirik ke sana ke mari, ketakutan. Jika takutku memuncak, pastinya aku akan ambil langkah seribu, padahal jalan setapak yang melintasi pekuburan itu adalah jalanan mendaki.

Tapi aku tidak peduli. Energi ketakutan terkadang memang luar biasa besarnya.

Bermalam di kebun, rasanya sunyi sekali. Yang terdengar hanya suara binatang malam. Tidur di dalam gubuk bambu diterangi cahaya obor, ada rasa takut yang menghampiri pelan-pelan. Kalau sudah begitu, aku hanya bisa merapatkan punggungku ke pelukan ammak.

Pagi hari, saat alam belum lagi terang benar, aku sudah harus mandi, sebab sekolah jauh. Mandi dengan air sumur di bawah pohon besar. Rasanya duingiiin sekali. Yang menyenangkan pada angngahung adalah pada saat liburan. Tak ada kewajiban untuk tidur cepat dan pulang-pergi sekolah. Bangun pagi-pagi dan menikmati indahnya sinar surya yang mengintip dari sela-sela dedaunan.

Oh, rasanya asri sekali. Betapa aku sangat merindukan saat-saat seperti itu. Bermain di sela-sela batu besar dan tanaman jagung. Mencari jangkrik, lalu berhenti sebentar, makan siang dengan sayur kacang panjang santan dan ikan kering.

Ammaleek ! halena..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar