Senin, 13 April 2009

ANEKDOT-ANEKDOT DI MASA PENJAJAHAN



PROLOG

Nenek moyang kita sebenarnya orang-orang hebat. Mereka telah sanggup mendirikan bangunan batu megah seperti Candi Borobudur dan Prambanan yang kerumitan konstruksinya masih membingunkan para ahli. Mereka telah mendirikan sebuah armada maritim dan membangun sebuah doktrin yang mampu menyatukan Nusantara. Mereka punya aksara sendiri. Mereka membangun seni dan kebudayaan sendiri. Mereka juga masih bisa menghalau penjajah Portugis hingga bangsa porto ini cuma sanggup menduduki Timor-Timur (Timor leste). Sayangnya mereka kalah siasat dengan Belanda. Jika mereka angkat senjata, Belanda mendatangkan tandingan yang biasanya adalah orang-orang dari bangsa sendiri sehingga perlawanan pun berhasil dipatahkan, akhirnya karatanlah bangsa kita dijajah selama tiga setengah abad lamanya.

Bahwa Penjajahan adalah biang kerok ketertinggalan kita, mungkin sebuah pendapat yang masih sangat terbuka untuk kita perdebatkan. Tetapi kemandegan, bahkan kemunduran kita di segala bidang jika dibandingkan dengan Negara-negara maju, merupakan sebuah fakta. Dan betapa sangat naifnya kita seandainya kita yang lahir belakangan ini masih tidak mampu belajar pada sejarah, dan melakukan terobosan-terobosan baru untuk mengejar ketertinggalan itu.

Cerita-cerita singkat berikut ini mungkin bukan gambaran sejarah sepenggal-sepenggal yang dengan sendirinya tidak perlu dan tidak harus diluruskan, karena cerita ini mungkin hanya semacam pemanis bibir di kalangan kakek-buyut kita, bualan-bualan, hiburan, atau malah inilah yang namanya “SENJATA ORANG-ORANG KALAH”. Ia lahir dari karakter yang berusaha fleksibel terhadap zaman yang menindasnya. Salah satu caranya adalah dengan menertawai kebodohan sendiri dan meninggalkan bekasnya seperti program ekstravaganza, Republik Mimpi dan Republik BBM.

Karakter humoris nan “menyedihkan” ini juga ada di dalam diri orang Selayar. Bayangkan, ketika mereka terpingkal-pingkal ketawa saat mengenang teman sejawat dan saudara-saudara mereka yang tewas dihajar peluru meriam karena berduyun-duyun ke pantai ingin mendengar “indahnya” suara dentuman yang ternyata suara ba’dili ro’ro’. Mereka juga masih sanggup terbahak mengenang rekannya yang lari terbirit-birit saat Nippon membom pemancar komunikasi Belanda di Puncak.

Saat ini mungkin kita akan ikut tertawa sembari berkata, “Oh alangkah udiknya engkau, nenek moyangku. Karena otakmu sudah dicacah dan ditakar oleh penjajah sampai sedetil-detilnya, maka ketika Orang bule dan orang Jepang telah berperang di udara, membaca pun engkau belum bisa”.

Tetapi setelah terbahak, ada baiknya kita terdiam sejenak dan melihat ke sekeliling kita. Kita lihat apa yang terjadi hari demi hari di negeri ini. Berita orang-orang yang digusur tempat tinggalnya bukankan amat ironis jika dibandingkan dengan Negara kita yang begitu luasnya? Apakah kita sudah betul-betul kekurangan tanah untuk tempat tinggal, padahal masih begitu banyak pulau yang tidak dihuni? Berita tentang Orang-orang yang terkena busung lapar bukankan amat kontradiktif untuk negeri yang konon gemar ripah lohjinawi, melimpah dengan sumber daya alam?

Nah, bukankan Keadaan kita pun sesungguhnya tidak kalah menyedihkannya dengan para pendahulu kita yang dijajah bangsa bule itu? Kalau di zaman penjajahan Belanda atau Jepang hal seperti ini barangkali masih bisa dimaklumi. Tetapi jika ini setelah lebih setengah abad kita menyatakan kemerdekaan kita, maka tentunya masih harus dipertanyakan, siapakah yang lebih bodoh, kita atau nenek moyang kita.

BIRI-BIRI

Sekali waktu di zaman Belanda, ada seorang petinggi Belanda yang bertanya pada salah satu penduduk Setempat, “Kamu orang tahu daerah mana yang banyak biri-biri?” (Yang dimaksud oleh Si Menir ini adalah binatang domba)

Karena yang ditanya belum pernah melihat domba, maka penduduk ini mengira yang dimaksud adalah biri-biri laut, temannya siput. Sambil merapikan sarungnya, Ia menjawab dengan bahasa Melayu sepotong-sepotong, “Ooo kalau biri-biri sangat banyak, Tuan. Di Temprang Parak, satu kali me-nyogor dapat satu karanjeng ( Di Pantai Parak, satu kali menyekop, dapat satu keranjang).

Paham kalau penduduk ini tidak megerti apa yang ia tanyakan, maka tuan Menir menyela, “Yang saya maksud biri-biri, yang punya tanduk dan telinga panjang. Kamu orang bodoh sekali”, umpatnya.

Bukannya paham, Si Penduduk ini malah semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Si Belanda. Tapi tetap saja ia menjawab dengan sok tahunya. Ia sempat menangkap kata terakhir yang diucapkan Si belanda, kata “bodoh”, yang dalam bahasa selayar kedengaran sama dengan “bodo”, yang berarti pendek. Jadi menurutnya, Si tuan Bule ini mengatakan kalau tubuhnya pendek sekali. Maka tanpa pikir panjang, langsung saja ia menyela, “Gelena japa rijanjang aringku. So’di minang rijanjang aringku, mungking ta’bangkaki Tuang, ka Bodo-bodoang pole ia na I nakke” (Tuan Cuma belum pernah melihat adik hamba. Seandainya tuan pernah melihat adik hamba mungkin tuan akan terkejut, karena adik hamba jauh lebih pendek dari hamba)

Belanda : ???

Bila itu Tempat air

Di lain waktu, seorang petinggi Belanda berkunjung ke daerah Selayar bagian timur. Ketika masuk ke sebuah kampung, ia menghampiri salah satu penduduk yang sedang memberi makan kudanya yang berwarna putih. Kebetulan orang ini tahu bahwa bahasa melayu jarang pute adalah kuda putih. Maka ketika Si Tuan Belanda ini bertanya kepadanya, “ Kamu tahu di mana kampung putti?”,

Si penduduk ini menyangka kalau Tuan Belanda menanyakan kudanya. Dengan pedenya, ia menjawab, “Kuda putih ini Koak ( kuat), Tuan!”.

Melihat Tuan bule terbengong-bengong, ia berusaha “meyakinkan” tuannya dengan bersemangat, “ Bayangkan Tuan, Benteng pigi Barugayya datang. Sakeang Beau tidak turun lagi” (Pulang-pergi dari Benteng ke Barugayya, kuda ini tidak ada capek-capeknya. Pendakian beau, terletak di sebelah timur Kampung Cinimabela ,tidak usah turun )

“Kamu orang bilang apa? Tanya Si Belanda tak mengerti.

Karena menangkap kata “bilang”, maka menurutnya Si Bule menanyakan bila, benda bulat yang tergantung di kolong rumahnya. Bila adalah tempat air yang terbuat dari semacam buah. Sambil menunjuk ke arah bila ia menjelaskan “Kalau bila itu untuk tempat air, tuan. Bisa juga untuk tempat udang…”

Tuan Sakata

Di zaman Jepang ada seorang Mandor Nippon yang sangat kejam menindas orang Selayar. Namanya Tuan Sakata. Tuan Sakata adalah perfeksionis yang sangat benci pada pekerja yang tidak serius bekerja. Konon jika ada sesuatu yang mesti digotong ramai-ramai, taruhlah membutuhkan empat orang, maka pekerjaan ini harus dituntaskan sesegera dan sebaik mungkin. Kalau tidak sampai selesai dengan alasan misalnya, para penggotong yang empat orang itu tidak sanggup mengangkatnya dan membutuhkan tambahan tenaga, maka Tuan Sakata bukannya menambah jumlah penggotong, tetapi sebaliknya, jumlah penggotong dikurangi jadi tiga atau dua orang. Biar mereka tidak main-main, mungkin begitu maksudnya.

Kekejamannya pun pernah ia buktikan ketika diadakan kerja pembangunan jalan. Seorang pekerja yang mungkin sudah kecapekan mengambil inisiatif sendiri untuk beristirahat sejenak. Namun karena menurut Tuan Sakata pekerja itu sedang bermalas-malasan, tanpa berpikir dua kali, tuan kate ini langsung mengambil palu pemecah batu dan dilemparkan ke arah pekerja yang dianggap sedang malas-malasan itu.

Lemparannya tepat, palu itu mengenai kepala! Tapi apa yang terjadi pada kepala yang dilempari? Pecahkah? Ternyata tidak, sebab orang ini konon punya ilmu kepala baja yang tentunya lebih keras dari batu, sehingga yang hancur malahan kepala palu yang dipakai melempar. Walaupun keheran-heranan, Tuan Sakata “mempelajari” satu hal, bahwa kelemahan orang Selayar bukan pada kepalanya, tetapi mungkin pada bagian tubuh yang lain. Akhirnya ketika mendapati ada yang malas-malasan, ia tidak lagi memukul bagian kepala, tetapi bagian pantat atau punggung.

Cerita belum selesai. Pekerja yang pernah dilempari palu ini ternyata memupuk dendam di hatinya. Ia terus mencari kesempatan bagaimana membalaskan sakit hatinya. Pada kesempatan lain, ketika mereka bekerja mendirikan sebuah bangunan, ia mendapat momen yang bagus, saat melihat Tuan Sakata sedang berdiri memberi komando dari atas bubungan. Ia melihat betapa dendamnya akan terbalaskan sudah jika ia menarik palang tempat Tuan sakata berdiri. Ujung palang itu memang sangat gampang ia tarik karena berada di dekatnya. Tak peduli lagi dengan hukuman yang akan ia terima, ia segera menyelesaikan perkara itu. Palang ia tarik sekuat-kuatnya. Tak ayal lagi, Tuan Sakata yang bengis itu tiba-tiba hilang keseimbangan dan jatuh berjumpalitan, berputar-putar seperti gasing sebelum akhirnya bergedebum menghantam tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar