Senin, 13 April 2009

MEMAKNAI KEMBALI HAKEKAT PENDIDIKAN

Program menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20 persen dari APBN, sekolah gratis dan mungkin pula suatu saat, universitas gratis adalah menu yang hampir membosankan dalam setiap kampanye calon legislatif dan calon eksekutif. Tetapi pahamkah kita apa sebenarnya pendidikan itu? Betulkah sekolah gratis dapat meningkatkan kualitas pendidikan? Dan betulkah sekolah dan universitas adalah satu-satunya tempat belajar?

Lima abad Sebelum Masehi Filsuf Konfucius dari Cina mengatakan bahwa, pendidikan pada hakikatnya adalah sebuah upaya untuk memanusiakan manusia. Di abad 7 Masehi, Nabi Muhammad SAW bersabda agar menusia menuntut ilmu mulai dari buaian sampai ke liang kubur. Masuk ke abad 17 Masehi Ilmuan Galileo menegaskan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan sebuah kegiatan individual. “Anda tidak dapat mengajar apa pun pada seseorang. Anda hanya dapat menolong orang lain menemukan sesuatu di dalam dirinya masing-masing”, kata Galileo. Dan di abad 20 Masehi, Pakar Pendidikan Maria Montessori merumuskan semacam “kriteria” keberhasilan pendidikan bahwa, pertanda besar dari keberhasilan seorang pengajar adalah untuk dapat berkata, “Anak-anak sekarang belajar seperti ketika saya tidak pernah ada”.

Dari rangkuman pemikiran “Para Pemuka” lintas abad di atas, kita menemukan bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah sebuah upaya yang memungkinkan : teraktualisasinya potensi manusia, berlangsung secara mandiri, prosesnya seumur hidup, dan dapat memanusiakan manusia. Dengan demikian pendidikan tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan persekolahan dan perkuliahan dengan mengingat bahwa,

pertama, lembaga persekolahan dan perkuliahan tidak selamanya dapat mengaktualisasikan potensi manusia, tetapi justru di sekolah dan di universitaslah kadang terjadi pemaksaan keinginan baik itu berupa “pesanan” dari orang tua (baca: agar mudah dapat kerja), maupun dari guru-dosen, yang kemudian tidak jarang memberangus potensi dan bakat-bakat sejati manusia.

Ini bukan berarti kita mengecilkan peranan sekolah sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan formal dan bahwa sekolah untuk bekerja itu tidak perlu, tetapi pemaksaan yang sifatnya pragmatis untuk mendapatkan kerja yang nampaknya sederhana itu; untuk memenuhi kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan, memiliki efek merusak yang sangat besar.

Bayangkan, ketika seseorang gagal menemukan potensi sejati sesuai bakatnya, kemungkinan besar ia pun akan mendapatkan pekerjaan yang tidak ia sukai. Maka alih-alih menjadi kreatif-produktif, ia bahkan bisa menjelma parasit yang tega menodai profesinya, dimulai dari penggunaan uang pelicin untuk menyingkirkan calon pekerja lainnya, yang berlanjut pada , Korupsi, kolusi dan nepotisme saat menjadi pekerja.

Kita juga perlu mengkaji kembali bahwa timbulnya kriminalitas di kalangan pelajar dewasa ini mulai dari tawuran, narkoba dan free sex boleh jadi disebabkan oleh pemaksaan sekolah atau jurusan dari orang tua yang tidak sesuai dengan bakat dan minat para pelajar.

Kedua, Jika pendidikan adalah upaya personal-mandiri, sekolah dan universitas pun tidak cukup untuk dikatakan sebagai tempat mendidik manusia. Lembaga pendidikan formal ini hanya sebagai sarana agar manusia bisa tersambung dengan potensinya. Pemahaman bahwa sekolah adalah segala-galanya justru akan membuat manusia tidak akan pernah percaya diri untuk belajar mandiri saat terlepas dari sekolah. Sebagai gambaran, kita patut mencontoh para pembelajar sejati seperti Thomas Alva Edison dan Bill Gates yang justru lebih kreatif dan brilyan setelah drop out dari sekolah.

Ketiga, Jika pendidikan adalah sebuah proses yang berlangsung seumur hidup, lagi-lagi sekolah dan universitas tidak memenuhi kriteria ini. Sebab waktu belajarnya sangat singkat, hanya sampai gelar doktor. Sementara pengagungan gelar telah membuat para alumni ke-PDan dan merasa tidak perlu belajar lagi. Pengagungan gelar pun kerap menimbulkan kecurangan di lembaga-lembaga pendidikan formal kita, mulai dari jual beli soal ujian, ijazah, sampai gelar sarjana. Dan bukankah amat berbahaya ketika manusia berhenti belajar di tengah pusaran dunia yang bergerak begitu cepat dan tak henti membutuhkan kreativitas baru, pemahaman baru serta stamina belajar yang tidak putus-putusnya.

Dan keempat, jika pendidikan adalah sistem yang dapat membuat manusia menjadi manusiawi baik secara ekonomis, intelektual, moral, sosial dan spiritual, maka lembaga persekolahan dan universitas sekali lagi belum tentu memadai untuk semua itu. Karena bukankah telah kita rasakan sendiri bahwa perbuatan tidak manusiawi seperti kecurangan, pemutar-balikan kebenaran, kerusakan moral, dan korupsi di berbagai bidang justru lebih banyak dilakukan oleh mereka-mereka, para alumnus sekolah dan universitas.

Dengan demikian untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional melalui peningkatan anggaran atau pun sekolah gratis, boleh-boleh saja, tetapi yang lebih penting adalah :

Pertama, memahami kembali bahwa pendidikan bukan semata persekolahan atau perkuliahan, sebab pendidikan sesungguhnya berlangsung seumur hidup (longlife learning) dan tidak bisa dilembagakan. Oleh karenanya, “otak” pelajar, guru dan dosen baik pada saat masih berada di dalam kampus atau telah lulus, baik pada saat masih “aktif” maupun sudah pensiun, harus selalu di-upgrade dengan informasi yang up-todate baik melalui membaca, memanfaatkan media informasi atau melalui diskusi.

Kedua, Sekolah dan universitas saat ini harus ditingkatkan peranannya menjadi “motivator ulung”, yaitu tempat yang menyenangkan untuk belajar dan mengembangkan kreativitas dimana guru dan dosen adalah parner belajar bagi siswa dan mahasiswa yang siap didebat dan dikritik tanpa ada sentimen dan intimidasi.

Ketiga, menghapus pemahaman bahwa kampus adalah satu-satunya tempat belajar, tetapi alam raya dan isinya inilah sesungguhnya tempat belajar kita, sehingga setiap orang lebih terdorong untuk belajar justru saat berada di luar sekolah, ketika tamat dari sekolah atau saat menyandang gelar sarjana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar