Senin, 13 April 2009

BUDAYA TULIS-BACA, PEMICU KREATIVITAS PARA FOUNDING FATHER



Ada lebih banyak harta yang terkandung di dalam buku ketimbang seluruh jarahan bajak laut yang disimpan di pulau harta karun.

Walt disney


Para
founding father negeri ini secara tersirat telah terbangun dan membangun budaya literer bagi negeri ini. Hal ini dapat kita lihat pada model perjuangan mereka pasca kebijakan politik etis oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1899, yang salah satunya adalah memberi kesempatan bagi anak-anak pribumi untuk mengenyam pendidikan (edukasi) . Model perjuangan bersenjata sebelumnya yang kurang efektif diganti dengan perjuangan intelektual, salah satunya dengan menggunakan pena atau tulisan. Melalui goresan pena mereka menyadarkan rakyat pribumi Indonesia (Hindia Belanda) bahwa sebenarnya bangsa ini berada dalam keadaan terjajah, dengan demikian mereka harus bangkit melawan pemerintah Hindia Belanda demi meraih kemerdekaan dari Sabang sampai Merauke.

Perlawanan melalui tulisan itu diawali dengan berdirinya medan prijaji, surat kabar pertama yang dikelola kaum bumi putera yang dipimpin RM Tirtoadisuryo pada tahun 1903 yang menampilkan kalimat berani dan propagandis di bawah nama koran : orgaan bagi bangsa jang terperintah di hindia belanda tempat membuka suaranja. Koran ini menginspirasi tokoh-tokoh pelopor awal seperti HOS Cokroaminoto mendirikan Oetoesan Hindia. Tokoh-tokoh nasionalis seperti Ki Hajar Dewantara menerbitkan koran-koran yang namanya cukup revolusioner yakni, Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sukarno mendirikan Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka pada tahun 1926. Sementara Semaun dari pihak sosialis pun tidak ketinggalan menerbitkan koran dengan nama yang lebih sangar lagi yakni Api, Halilintar dan Nyala. Di luar Jawa, Parade Harahap mendirikan Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922 di Padangsidempuang. Sedangkan di Padang berdiri majalah Jong Sumatera. Di berbagai tempat juga muncul nama-nama koran dan majalah seperti Hindia Sarekat, Koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, Oetoesan Melayu dan Peroebahan.

Alat perjuangan melalui pena ini kiranya menjadi media yang sangat efektif menyulut rasa kebangsaan serta sangat ilmiah dan intelek membentuk idealisme di kalangan pemuda. Efektivitas “propaganda” melalui tulisan ini sesungguhnya amat aneh, mengingat hanya segelintir orang saja yang tahu tulis-baca pada waktu itu. Tetapi karena yang membaca saat itu adalah para pemuda yang “tepat”, maka nasionalisme yang ditelurkan oleh generasi pelopor seperti Dr. Soetomo, Dr. Cipto mangunkusumo dan HOS Cokroaminoto dapat diwariskan secara kontinyu ke dalam dada generasi selanjutnya seperti Soekarno, Hatta dan pemuda-pemuda seangkatannya. Melalui tulisanlah, generasi pelopor “menebar pesona” bagi generasi selanjutnya. Melalui tulisan Hos Cokroaminoto di surat kabar oetoesan hindia, Soekarno tersodok nasionalismenya, sementara Abdul Muis, penulis novel salah asuhan yang sekaligus pegiat di majalah Hindia Sarekat, menjadi idola bagi Pemuda Hatta. Walhasil perjuangan melalui pena pula yang membuat banyak pejuang silih berganti masuk penjara dan diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda baik di dalam negeri (interniran) ataupun ke luar negeri (eksterniran).

Tajamnya pena para pejuang kita tentunya tidak datang begitu saja seandainya mereka miskin bacaan dan tumpul daya analisis. Walaupun teknologi percetakan saat itu masih terbilang sederhana namun harus diakui pula bahwa sistem pendidikan bahasa di zaman Belanda cukup mapan. Sebagai gambaran, tamatan AMS ( Algemene Middelbare School ) untuk kelompok non-eksakta bisa dipastikan fasih berbahasa asing secara lisan dan tulisan. Tidak hanya bahasa belanda tetapi juga bahasa Inggris, Perancis, Jerman bahkan bahasa lain. Hal ini memungkinkan peserta didik dapat secara langsung mengakses ilmu dari buku-buku kelas dunia yang ditulis dalam bahasa aslinya tanpa harus diterjemahkan ke dalam bahasa ibu.

Sampai di sini kita dapat menarik pelajaran bahwa idealisme, nasionalisme serta kreativitas para fouding father kita secara efektif terbentuk dari budaya literer atau budaya baca-tulis, serta penguasaan bahasa asing sebagai kunci pembuka berbagai literatur pergerakan politik dunia.

Coba bayangkan seandainya para pejuang pelopor semacam Sutomo, Cipto mangunkusuno dan HOS Cokroaminoto atau Generasi 1908 tidak pernah menulis, menerbitkan koran dan memberi inspirasi melalui tulisan pada generasi selanjutnya . Besar kemungkinan pergerakan nasional akan mati di tengah jalan. Tak akan ada Sukarno, Sang singa podium yang berapi api-api meneriakkan kata-kata aktif, dinamis, meraung menggeledak dan mengguntur yang hendak menyeterika Amerika dan melinggis Inggris . Seandainya ia malas membaca tak mungkin bisa dia menulis Pidato Pembelaan Indonesia Menggugat yang begitu tajam., serta paham marhaenisme, yakni gerakan berdikari dan marxsisme ala Indonesia, yang tentunya disadap dan disarikan dari buku Das Kapitalis Karl Marx.

Coba bayangkan seandainya Hatta bukan predator buku yang pernah mengepak tiga puluh peti bukunya saat diasingkan ke Boven Digul. Tentunya tak akan ada pemilik pena tajam yang membuat telinga penguasa Hindia Belanda memerah dan tidak akan ada pemuda Indonesia yang pernah digelari Mahatma Gandhi Van Java. Bayangkan lagi seandainya Agus Salim pendek wawasan dan tidak fasih berbahasa asing. Tentunya diplomasi-diplomasi indonesia dalam setiap perundingan akan tumpul. Dan praktis tidak akan ada deretan “Revolusi indah” yang mulai terbentuk dari pergerakan pemuda 1908, Sumpah Pemuda 1928 yang mengantarkan indonesia pada proklamasi 1945. Jadi sangat sulit dibayangkan apa jadinya negeri ini jika para founding father tidak rakus membaca dan menulis?

Akan tetapi jika kita arahkan kursor perhatian kita pada generasi masa kini, sangat sulit pula kita mempercayai bahwa di negeri ini pernah hidup manusia-manusia besar yang jatuh bangun dalam sejarah kemerdekaan dengan model perjuangan tulis baca. Bahkan kemunduran budaya literer sekarang ini terjadi justru pada saat semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi.

Orde baru dan remah-remahnya

Hal ini memang bukan kesalahan generasi masa kini sepenuhnya. Lunturnya warisan budaya tulis baca yang mengakibatkan memudarnya idealisme dan nasionalisme, sedikit banyak diakibatkan oleh kungkungan sistem pendidikan yang mengutamakan hapalan dan sistem politik yang mengekang kreativitas berpikir pada masa pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun . Adapun segelintir orang-orang idealis dan kritis yang mungkin lebih kompeten dilibatkan dalam persoalan pendidikan nasional saat itu, ditendang keluar dari tembok kekuasaan. Bahkan sampai sekarang, kita masih tetap hati-hati kerena remah-remah orde baru masih banyak yang tersisa, bahkan terkadang menjelma menjadi jamur segar, berupa orang-orang muda yang tetap berpikir dan bertindak seperti orang-orang tua di zaman orde baru.

Reformasi bagi perkembangan literasi

Datangnya era reformasi bagi negeri yang budaya literernya sudah terlanjur mandek pun akhirnya membuat kita gelagapan. Televisi yang mendangkalkan kreativitas lebih dicintai ketimbang buku yang menajamkan daya analisis. Era keterbukaan menyebabkan mereka yang sudah kehilangan idealisme dan nasionalisme menjadikan media massa sebagai ajang komersialisasi yang tidak jarang menanamkan racun pada generasi muda. Dunia pertelevisian tumbuh menjadi penyaji hiburan berbau pornografi, klenik dan kekerasan dan mengajarkan bahwa figur yang patut dicontoh adalah mereka yang berada dalam gelimang pesona hedonis. Dengan demikian menciptakan generasi yang lebih suka menjadi penonton ketimbang membaca, lebih suka berbicara ketimbang menulis, berpikir dangkal, cengeng, berwawasan sempit dan serba instan. Sampai-sampai Almarhum Romo Mangunwijaya pernah mengatakan bahwa, generasi muda kita lebih terbelakang dibanding generasi tahun dua delapan

Pengaruh televisi yang mendangkalkan kreativitas diamini oleh Mark Singer, guru besar dan pengamat media asal Amerika. Menurut hasil penelitian Singer, kebiasaan menonton televisi merupakan aktivitas pasif yang jika dilakukan dalam waktu lama (ekstensif) justru berpotensi meningkatkan trauma kejiwaan. Di samping itu televisi juga sangat jarang dijadikan sarana pengembangan intelektual. Hasil survey majalah Tv Guide menyatakan, hanya ada 1 dari 10 orang pemirsa yang memosisikan televisi sebagai sarana intelektual, selebihnya mengatakan bahwa mereka menyaksikan televisi hanya sebagai pelarian atau hiburan untuk menghindar dari tekanan hidup. Dan perlu diketahui bahwa survey ini dilakukan pada responden yang 70 persen terdiri dari anak-anak di Amerika Serikat, negara yang budaya literernya sudah sedemikian maju. Bagaimana dengan Negara kita?

Budaya paternalistik

Budaya tulis-baca pun tidak akan pernah berkembang di negeri yang terikat budaya patenalistik, dimana orang yang lebih tua selalu dijadikan figur bagi yang muda, kecuali bila ada kesadaran orang tua yang memulai terlebih dahulu. Kita mendapati keadaan bahwa amat sulit bagi siswa atau mahasiswa untuk mencintai kegiatan tulis-baca karena bahkan dosen atau guru saja amat malas membaca, apalagi menulis. Tak bisa kita pungkiri bahwa kebanyakan guru dan dosen-dosen sekarang ini menjalani hidup dan terbentuk “mental akademik”-nya di bawah hegemoni dan bendera pasif orde baru.

Masalah penguasaan bahasa asing pun demikian. Sangat jarang kita menjumpai pengajar yang memang profesional dalam mengajarkan bahasa asing sehingga peserta didik dapat mempergunakannya secara aktif baik secara lisan maupun tulisan. Kegagalan sekolah dalam pengajaran bahasa asing ini dapat dibuktikan dengan menjamurnya tempat kursus bahasa asing di mana-mana, padahal untuk tamatan sekolah menengah atas saja minimal telah mempelajari bahasa inggris selama enam tahun. Andrias harefa, salah satu pemerhati pendidikan sampai mengatakan bahwa munculnya tempat kursus bahasa asing di mana-mana merupakan ejekan bagi sekolah dan universitas yang tak mampu memfasilitasi peserta didik agar mahir berbahasa asing.

Sampailah kita pada sebuah kesimpulan bahwa budaya literer tulis-baca adalah budaya warisan para founding father pendiri negara ini yang perlu kita gali dan sadap kembali untuk kemudian dilestarikan dan dikembangkan. Karena kegiatan baca tulis menawarkan keluasan wawasan, kreativitas dan idealisme serta semangat nasionalisme untuk berbuat yang terbaik bagi negeri ini. Bukankah amat ironis jika membludaknya informasi dari berbagai media seperti buku, majalah, koran dan internet malah membuat generasi muda kita pasif dan berwawasan sempit?

Kita berharap semoga momen proklamasi yang ke-63 ini, tidak sekedar menjadi momen “bernostalgia” dengan arwah-arwah para pahlawan bangsa, tetapi momen dimana kita mestinya menelaah kembali apa yang perlu kita lestarikan dan apa yang perlu kita benahi dari para pendahulu kita. Sulit sekali kita bayangkan apa jadinya negeri ini jika pembenahan literasi tidak kita lakukan dari sekarang, khususnya oleh generasi muda yang belum banyak terkontaminasi oleh remah-remah masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar