Rabu, 13 Mei 2009

Puisi aneh

U mild Demokrasi Indonesia

demokrasi itu

dari uang,

oleh uang dan

untuk uang

demokrasi itu

demonstrasi bakar ban

biar muncul di tivi

demokrasi itu

para politisi bebas berebut kursi

lalu…

korupsi ramai-ramai

tapi menurut gua…

demokrasi itu

duduk manis di depan tivi sambil memaki-maki

habis duit minta pada ortu

habis perkara….

Dia

Kemarin dia datang

Semalam dia datang

Tadi pagi, dia datang lagi

Datang mengintai

Bersama matahari

Di jalan dia ada

Di rumah dia ada

Di sunyi dia ada

Di ramai dia ada

Bertandang tak kenal waktu

Aku penasaran. Maka ketika dia datang. Ketika dia ada, aku coba iseng menanyakan namanya.

Dengan seyumnya yang dingin, dia menjabat tanganku,

“Namaku tak panjang-panjang amat, namaku :maut!.

Aku akan menjemputmu kapan pun kumau, dan kemana pun kau pergi”

PANAH PENYESALAN

di

neraka

manakah

aku

mau

kau

taruh

tuhan

tanyaku

usai

buat

dosa

?

Merokok

Meluap

meluap

meluap

sampai

tersedat-sedat

merokok sampai dada sesak - plok

sampai paru-paru penuh asap – maut!

tanpa nama,

tanpa hari, tanpa tanggal, tanpa tahun

.

Cerita Usang

Di bawah pusaranya

Nenek moyangku meratap-tertawa

Melihat anak cucunya

Berebut harta tua

Opu Bonto Bangung

spermamu,

yang kau tanam paksa di rahimku

tak ubahnya kau

jutaan penggalah matahari lalu

di saat liar matamu

memasukkan sembilu

ke pui-pui karaeng gowa

isap, tersedak, putus, tewas

lihatlah

darah di belati anakmu

dilap dengan percah kain

dari baju temannya

Setitip Pesan Dari Ibu

jauh, jauh

kau belum lagi berenang di cairan ketuban

lantai tempat berpijakmu adalah,

punggung bapakmu

disemen keringat

yang menetes di ujung keningnya

jauh, jauh

kau belum lagi dililit plasenta

tiang tempat bersandarmu adalah,

gantungan kopiah

diusung bahu

rakat negeri ini

jangan, jangan nak!

ari-arimu

akan kering diserapnya

hingga tegel murahan itu

hanya akan memantulkan wajah jelekmu

adakah kau dendam?

dengan benjolan di kepalamu sewaktu terpeleset?

jangan, jangan nak

tiang beton itu

tidak termakan paku negeri ini

adakah kau kenang?

bola ang terpantul

hingga tak kena cermin, tempat rias kita?

adakah kau dendam?

air mata dan susuku

telah kering

Anak-Anakku Tidur Dengan Lelap

Bandul itu

Tak enggan berhenti beraun

Tak!

Apa arti lonceng

Di sebuah negeri yang tak menghargai waktu

Anak-anakku tertawa dengan mimpinya

Meneringai ke arah langit-langit

Susah, susah membangunkan mereka

Bangsa ini terlanjur lelap

Sementara setan

Di bubungan atap rumah

Atau kalong-kalong

di luar jendela

hendak santap pisang

di meja

bahkan di ujung bibir kita

Curhat,

Cerita Untuk Renungan Hani Tercinta

Mungkin tiba sudah saatnya

Kukabari kau dari kota ini

Setelah penatku

Sudah tiba mungkin saatnya

Tuk dengarkan dengung telingaku

Oleh retakan tulang-tulang sendiri

Saatnya mungkin sudah tiba

Tuk penantianmu belajar katakan,

Setia!

Inikah puisi

Onani

Dengan kata-kata

Muncrat

Suku kata

Kawin

Dengan larik

Lahir

Bait

Kurangkai menjadi puisi

Bubuhkan tanda tangan di kertas ini sebelum pergi

Bubuhkan

Tanda tangan

Di

Kertas ini

Sebelum pergi

Kawan

yang merangkak

di lantai

kutahu lututmu masih goyah

tuk kenal

arti payah

bahkan mati

tapi

dengan pasti

kita akan berdiri

berlari

hadapi

sekali lagi

Bubuhkan tanda tangan di kertas ini sebelum pergi

Untuk pemimpin-pemimpinku

Penatku ditumpuk geram

Retakku kutelan

Mungkin aku sudah bosan

Dengan kalian

Seperti Binatang?

Sudah hilang betulkah adab di bumi ini?

Sehingga tumbuh

Bulu

Sekujur badan kami

Lalu menjelma menjadi jalang

Seperti binatang?

Sudah butakah mata

Dengan tipuan kaca

Lalu

Anak kami santap

Saudara kami lahap

Seperti binatang?

Akh, betulkah kami

Seperti binatang?

Atau mungkin

Kami harus belajar pada binatang

Karena kami telah

Lebih rendah

Dari binatang?

Jangan Katakan Tidak

Haruskah

Kata tidak terucap untukku

Kau gantung khaal di langit jiwaku

Haruskah

Selamanya aku bersanding dengan bayang

Dan kutatap mendung esok pagi

Jangan

Ke mana lagi harap kutitipkan

Sedang cinta di dada masih mencengkeram

Jangan

Ke mana lagi rindu kualamatkan

Apakah kepada gunung yang angkuh memasung

Atau kepada laut yang bergolak memasang

Atau kepada langit yang jauh

Tak terjangkau

Katakan

Katakan ya

Jangan katakana tidak

Sebelum Pagi

Engkau mungkin mengajariku

Menggembala pekat

Karena pintu langit belum terbuka

Sebelum pagi

Karena engkau telah menarikku

Dari selimut malam

Mengajakku berlari

Mengitari padang ini

Sebelum pagi

Karena engkau telah membasuhku

Dengan gelap

yang merayap

sebelum pagi

Tersina Untuk Adikku

Belajarlah tuk lupakan aku

Karena aku telah di sini

Jauh

Belajarlah menjadi diri sendiri

Karena temanmu adalah sunyi

Sepi

Belajarlah tuk patuhi

Ayah-ibu

Kita

Belajar

Belajar dan belajarlah adikku

Belajarlah untuk belajar

Aceh

ini perang bukan melawan kompeni

penjajah

tapi perang melawan diri sendiri

ambisi

mungkin ini takdir

bukan

tapi keserakahan

mungkin

di bawah dentuman peluru

beradu

darahku dan darahmu

tumpah

Untuk Ayah-bunda

Sudah sejauh manakah kuberjalan

Tanpa sempat kuberpaling ke belakang

Ke bekas kakimu

Yang kau pahat

Di atas keringat

Darah

Air mata

Dalam lepas ini

Kau masih merangkulku

Mendekapku di sepi

Mendongeng di ujung mimpi

Hanya dengan puisi ini

Kulap peluh

Di ujung bahumu

Karena kutahu

Semua tak kan terbelaskan

Untuk Mbak dan Mbak Mbak

Mbak yang pinggulnya besar

Kau telah menggoyang Negara

Dan birahi kami

Memutar-memelintir imaji ke ubun-ubun

Hingga kami lupa diri

Mbak, yang pinggulnya lebar

Kau bawa nafsu yang mekar

Nafas megap-megap

Mbak, yang pinggulnya merangsang

Maafkan jika mulutku berkata lancang

Kau betul-betul membuat anuku tegang

Dan bergoyang-goyang

Dan kuucapkan terima kasih

Kemarin

Telah kuanu anuku

Karena goyanganmu

Kata

ketika sepi itu tepat menikam di ulu hati

di pekat jantung malam

maka kuharap kau datang

menggenahi mimpi-mimpi merambang

bersama dedas daun

embun

ketika sepi itu tepat memaku kaki

kuharap kau melangkah padaku

dengan sayap terentang tenang

tak kaku

buyarkan semua angan-angan suram

jemput aku

dengan satu keoptimisan

bahwa masih ada hari

selain hari ini

dan kemarin

aku selalu siapkan waktuku untukmu

di mataku sampai merabun

di kupingku sampai memikun

di hidungku sampai sesak

di hatiku sampai ceracau

di ujung penaku

sampai tinta usiaku

tiada

Bila Aku Jatuh Cinta

bila aku jatuh cinta

aku mohon pada-nya

aku tak ingin selemah sang adam

yang lupa neraka

karena hawa

bila aku jatuh cinta

aku mohon pada-nya

aku tak ingin secengeng romeo

yang minum racun

karena juliet

bila aku catuh cinta

aku mohon pada-nya

aku tak ingin seperti pejabat

yang tega korupsi

karena istri

Bila aku jatuh cinta

Aku mohon pada-Nya

Aku tak ingin sepeti tikus

Model-model mahsiswa

SKS,

Sistem Kebut Semalam

CBSA

Catat Buku Sampai Abis

Evolusi

Kambing

Kambing berjalan tegak

Kambing setengah manusia

Manusia setengah kambing

Pak lukman

Babi

Babi berjalan tegak

Babi setengah manusia

Manusia setengah babi

Pak Ismu

Untungnya andai jadi

untungnya

penciumanku tak setajam pembau reptil

sehingga kau masih harum malam ini

andai

hidungku sedemikian itu

dapat kucium bau ketekmu dari jarak sekilo meter

tak bisa lagi kau tipu aku dengan rexona

pastinya aku akan muntah

jadi

bukan karena engkau yang harum

tapi hidungku yang mampet

untungnya

telingaku tak sepeka radar

sehingga masih dapat kubersunyi-sunyi ria malam ini

andai

telingaku sedemikian itu

dapat kudengar suara dengkurmu dari sini

Pastinya aku tak bisa tidur

Jadi

bukan karena suaramu yang tak pernah jelek

Tapi telingaku yang pekak

untungnya

mataku tak setajam sinar x

sehingga kau masih seksi malam ini

andai

mataku sedemikian itu

dapat kutembus sampai tulang dan ususmu

kotoran-kotoran di perutmu

pastinya aku akan jijik

jadi

bukan karena engkau yang indah

tapi mataku yang buta

Antara Hitam dan Biru

Mata biru kulit putih bengkoang

Rambut pirang terurai melambai

Hidung mancung seperti pedang

Pikiran tajam di segala hal

Itulah kharisma bangsa eropa

Samakah dengan kita?

Mata hitam kulit sawo matang

Rambut tertata karena terpaku oleh trend

Hidung mancung tak semuanya punya

Pikiran licik dalam segala kehidupan

Itulah budaya bangsa Indonesia

Selalukah kita berkiblat pada mereka?

Yang baik kita tiru

Yang buruk kita tiru

Yang merusak selalu kita simak

Yang tak bermoral selalu di jadikan modal

Kita bukan mereka,tapi mereka saudara kita,

keturunan dari sang adam

adam milik siapa?

adam ciptaan siapa?

Dimana naluri kita?

Tuhan yang tak inginkan cara kita?

Antara hitam dan biru bukan pedoman

Semua bukan pedoman tuk menjadi yang terdepan

Feodalondo sekali !otak tak berisi ! jadi apa nanti !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar