Selasa, 12 Mei 2009

Kisah dari serambi harti

Beberapa hari ini aku tidak menulis lagi di buku diary. Aku mencoba menyesuaikan diri dengan komputer. Namun sungguh sulit kurasa peralihan ini. Rasanya aku harus memiliki energi khusus untuk ini. Barangkali cuma masalah kebiasaan saja tetapi sungguh, jika harus seketika menghentikan kebiasaan lama rasanya ada sesuatu yang hilang dari diriku. Ada sesuatu yang tidak cukup dalam menjalani satu hari dalam hidupku.

Seiring dengan itu, aku juga harus beradaptasi dari tempat tinggal lama di jalam maleber utara dengan tempat tinggal baruku di mess sesa. Lingkungan lamaku yang sendirian satu kamar, berantakakan dan tidak peduli dengan kerapian , kini harus beralih dengan lingkungan dua orang satu kamar, bersih dan tidak ada kompromi terhadap “ilustrasi kapal pecah” yang sudah menjadi penyakit akutku selama bertahun-tahun.

Bersamaan dengan itu pula, aku harus menahan nafas jika kursor di otakku kembali menyorot Makassar. Aku rindu pada Jalan Walikukun. Pada kamarku di atas loteng, dan pada si mata juling dan jalang itu… akhirnya aku terkadang hanya bisa tertunduk pasrah pada kuasa pemilik langit yang telah menciptakan aneka macam rempah-rempah dan remah-remah perasaan. Aku serahkan semua padanya bak kaum fatalis. Tapi tak jarang pula kutegakkan kepala dan menepuk dada sembari berucap lantang.

“Ayo lawan aku, perasaan sialan. Kirimkan badai paling dahsyatmu. Robohkan aku kalau bisa.!”

Mess Sesa, 4 agustus 2008

Inertia

Pagi tadi giliran tante cicci yang tersedu di telepon.

“Nak, di sini kepala kami sudah diinjak-injak”, kata beliau. “baik-baliklah kau belajar’, lanjutnya.

Dadaku sesak. Air mataku ikut tertohok, dan kata yang bisa meluncur dari bibirku cuma ya dan ya. “ doakan aku tante”, itu saja senjata terakhirku untuk menutup rasa bersalahku , keresahanku dan sejuta rasa tidak keruan di dalam sana. Itu saja.

Berat sekali kurasa hari-hariku belakangan ini. Aku jadi maniak pengumpul data. Setiap hari ke warnet. Dan kalau sudah sampai di sana, aku bisa lupa waktu. Aku cari data tentang roket air, aku cari data sejarah selayar, ko-copy ke word dan kuprint, padahal data-data itu kebanyakan ditulis dalam bahasa inggris yang belum tentu bisa kuterjemahkan. Lagipula aku tak tahu apa manfaat data-data itu selain hanya menambah perbendaharaan informasi. Ya, sekedar menambah informasi belaka. Aku cuma ingin tahu apa sudah ang terjadi di tamah kelahiranku itu tempo dulu, orang-orang di zaman dulu, dan eksplorasi-eksplorasi apa saja yang pernah dilakukan orang barat di sana. Ah… kadang terbayang dalam benakkku bahwa di suatu saat, pada suatu tempat, aku akan membuat minimal cerpen heroisme, novel atau film documenter yang menampilkan para pelaut-pelaut pemberani, nenek moyangku.

Dan dalam salah satu eseinya, budi dharma bilang ada salah satu jenis penyakit bernama inertia, yakni tinggi keinginan tetapi malas bergerak. Aku jadi bertanya-tanya sendiri, apakah aku sudah mengidap inertia?

Maleber utara, 10 juni 2008

Flying ship

Tanpa sengaja alias secara kebetulan, saat membuka kembali lembar catatan harianku tertanggal ; 8 juni 2005, aku dapati di sana tertulis kata ambisi baru yang aku namakan “ambisi gila”. Ambisi itu adalah terbang keliling selayar dengan paramotor.dan aku kira, ambisi sialan ini muncul setelah membaca majalah angkasa.

Mimpi yang serupa juga hadir dua hari belakangan ini. Aku ingin merancang bangun sebuah kendaraan terbang semacam flying ship atau kapal terbang, ialah perahu karet yang diberi sayap gantole dan diterbangkan dengan mesin baling-balin. Ide ini muncul sehabis nonton sebuah film yang tayang siang tadi di trans tv.




Ka’mang Alosya dan Puru Nyamang

Rumah berlantai ubin hitam, berdinding kayu dan beratap bambu itu menghadap ke selatan, ke jalan raya, jalan tanah yang membentang dari barat ke timur dan terputus di ujungnya. Karena di ujung timur sana yang ada cuma rimba belukar, jalan setapak menurun dengan jurang di sana-sini, sampai benar-benar terputus saat nyemplung ke laut timur yang terjal.

Ia terlahir di rumah itu. Aku mengenalnya pertama kali sebagai bocah berkaos oblong kotor dilengketi noda-noda dan celana pendek tali karet. Perutnya buncit menyembulkan lobang pusarnya. Perut itu ditaburi titik-titik hitam bekas korengan. Masih ada koreng yang aktif menyisakan rasa gatal sehingga ia tidak tahan untuk menyingkap baju dan “bermain gitar” dengan perutnya.

Nama bagusnya mungkin kasman. Orang sering memanggilnya ka’mang. Nama bagusnya tidak pernah dipertanyakan orang sebab ka’mang hanya seorang bocah yang mengalami keterbelakangan mental, selalu menyunggingkan senyum dengan gigi yang besar-besar. Ia mengingatkan aku pada alosya, salah satu tokoh dalam cerpen Leo Tolstoy.

Oh ya. Tentang penyakit koreng si ka’mang, sebenarnya bukan cuma dia yang kena, melainkan pernah sekali musim di kampung kami, penyakit ini sempat mewabah menjangkiti hampir 99 persen manusia kampung.

Penyakit itu adalah gatal-gatal pada kulit yang kalau digaruk, maka rasanya enak sekali. Kita akan semakin bernafsu menggaruknya. Oleh karenanya dinamakanlah penyakit sialan itu puru nyamang ( penyakit koreng enak). Kalau di daerah maluku penyalit ini dinamakan ahebo atau kaskado.

Kulit yang digaruk akan memerah, mengelupas dan luka. Luka itu kemudian bernanah dan mengundang batalyon laskar lalat datang menyerbunya.

“jangan biarkan lalat memecah lukamu”, demikian pesan orang tua-tua. Alasannya, jika luka bernanahmu sampai dipecah lalat, tidak akan pernah sembuh-sembuh, sebab nanah akan melelehi kulit-kulit lain yang belum kena. Di situ akan muncul lagi titik gatal yang baru dan tentunya, puru nyamang baru.

Puru nyamang bisa menyerang hampir ke seluruh bagian tubuh. Tangan, kaki, badan, sela-sela paha dan ketek, bahkan sampai ke selangkangan! Di antara bagian-bagian ang terserang puru nyamang itu, mungkin cuma bagian wajah yang jarang kena, tetapi bisa saja sampai di leher atau di belakang telinga.

Paling repot jika yang kena itu sela-sela jari tangan. Sebab luka bernanah rawan pecah walaupun tanpa bantuan lalat. Bisa saja karena gesekan antar jari pada saat memegang sesuatu. Kalau itu yang terjadi, jari-jari berlengketan satu sama lain sampai kering seperti dilem dengan lem alteco. Nah, pada saat lekatannya itu mau dilepas, bersiaplah kau meraung sejadi-jadinya, sebab ada bagian kulit yang harus siap dikorbankan untuk terkelupas. Coba bayangkan saja bagaimana rasanya mengelupas luka yang setengah kering.

Entah mengapa ketika dijangkiti puru nyamang, bawaan tubuh dingin melulu. Walhasil di mana-mana terlihat orang berselimut sarung dan malas mandi. Sebab kalau terkena air, rasanya seperti disiram air es.

Puru nyamang mengganas dan di mana-mana semua orang menggaruk-garuk. Tubuh mereka menjadi tempat lalat berpesta pora. Laki-perempuan, tua-muda, yang jompo sampai balita, semua kena. Penyakit ini tiada pandang bulu . Yang bulunya lebat, kena, yang bulunya tipis juga dapat. Ia tak mengenal kasta. Ningrat-jelata, opu-ata sama-sama dijagalnya.

Di samping tidak pandang bulu, ia juga tidak pandang kulit. Yang putih kulitnya dihinggapinya, yang hitam kulitnya dijangkitinya. Yang cantik, yang jelek, yang bagus giginya, yang tonggos, yang lurus punggugnya, yang bongkok ah.. Ia tak peduli. Yang cantik berkurang kecantikannya, yang ganteng berkurang kegantengannya. Anak-anak kehilangan keceriaan. Orang-orang tua mengeluh dan menggerutu.

Mungkin engkau mau bertanya, bagaimana nasib selangkangan yang diinvasi puru nyamang ?

Oh.. Di kampungku orang-orang punya cara sendiri. Jika engkau mau pergi ke keramaian, tentunya engkau tak mungkin memperlihatkan diri ke orang bahwa kau sementara menggaruk “senjata wasiat”-mu itu. Jadi pakailah celana yang ada saku di bagian sampingnya. Lobangi saku bagian dalamnya seukuran tanganmu sehingga kalau datang gatal, tinggal kau rogoh sakumu, dan di dalam sana terserah apa yang mau kau bikin. Menarilah dan berputar-putarlah sesukamu tanpa ada yang melihat. Kau nampak seolah-olah pamer gaya seperti bintang iklan celana jeans, tetapi di dalam sana, segenap jejari telah menjelajah ke sana-kemari. Ya, tapi tetap akan ketahuan juga jenis manusia yang melakukan aksi sedemikian ini, yakni dari raut mukanya. Ia akan meringis. Lalu bibirnya mendesis keenakan. Pff…pff…

Kini kita kembali kepada ka’mang. Si keterbelakangan mental yang sibuk dengan puru nyamangnya. Ada anak-anak yang merasa lucu dengan gaya ka’mang menggaruk perut buncitnya. Ka’mang stop. Lalu nyengir. Tak lupa dengan senyum alosya-nya.

Ka’mang merasa sudah besar dan ingin sekolah seperti anak-anak lainnya. Beberapa kali masuk sekolah dan atas kesadaran orang tuanya sendiri, ka’mang diberhentikan. Apa pasal? Ka’mang membeberkan pipis dan beolnya di dalam kelas…

Teman-teman seumurnya sudah lama tamat, tetapi mungkin karena orang tuanya mau iseng-iseng, dimasukkannya lagi ka’mang di bangku kelas satu esde. Ka’mang tidak malu walaupun dia yang paling tua plus paling besar badannya di kelasnya. Ka’mang nyengir-nyegir saja, walaupun kemudian diberhentikan lagi karena mengulang kasus yang sama. Ka’mang juga tidak pernah naik-naik ke kelas dua.

Kalau ka’mang datang ke rumah mengekor pada ibunya, bapak sering meledeki, “ai ka’mang bagusnya kita kawinkan saja. Bagaimana raja?”

Daeng raja, ibunya ka’mang cuma tersenyum. Dan ka’mang tidak lepas dari nyengir alosyanya.

Hari lebaran tiba. Kami pakai baju yang sebagus mungkin, tetapi ka’mang berpakaian seadanya. Baju kaos dan celana karet. Bedanya kali ini agak bersih. Mungkin baju baru juga. Tetapi celananya itu, celana karet model lama. Seperti yang pernah dipakai maradona.

Ka’mang diledeki. Ada yang bilang kalau celana ka’mang itu seribu rupiah, bisa dapat tiga lembar. Kami tertawa ngakak, tetapi ka’mang tetap dengan nyengir dan menggelar senyum alosyanya. Tidak tersinggung. Tidak marah. Ia seperti malaekat yang khusus didatangkan dari langit untuk mencatat betapa sombongnya manusia dengan “kesempurnaan” yang bukan miliknya. Dan celakanya celakanya, mereka melakukan itu justru pada hari di mana seharusnya mereka meminta maaf atas segala nistanya. Sama sekali mereka tidak pernah waspada dan merasa was-was, barangkali di balik sorot mata lugu ka’mang, ada Tuhan!

Tetapi ka’mang tidak peduli. Ia masih saja menggelar nyengir dan senyum Alosya-nya. Ia malah semakin memperlebar senyumnya, memperlihatkan giginya. Dan giginya yang besar-besar itu, kini menjepit sisa-sisa daging lebaran.

Rawa rotan, 20 oktober 2005

Bibi-bibi

Ada ayat di dalam al qur’an mengatakan bahwa di dalam kehidupan ini segala sesuatu tercipta dalam keadaan berpasang-pasangan. Ada siang, ada malam. Ada suka, ada duka. Ada kanan, ada kiri. Atas, bawah. Maju, mundur. Tetapi kata berpasangan itu sendiri kemudian menimbulkan tanda kutip di dalam pikiranku dan secara emosional aku mulai bertanya, apakah tuhan menakdirkan setiap laki-laki di atas dunia ini punya pasangan perempuan?

Lalu aku menjawab sendiri, “barangkali” dan “mungkin” sebagai bukti keterbatasanku menebak maunya tuhan di balik setiap misteri walaupun terkadang ada pula kengerian yang muncul dalam hatiku bahwa memang ada manusia yang ditakdirka menjadi perjaka tua dan perawan tua, seumur hidupnya!

Rumah itu berdinding papan, berlantai tembok hitam dan atap bambu. Posisinya agak rendah dari jalanan tanah di depannya. Jadi dari jalan menuju rumah yang tak berserambi itu, kita harus berjalan agak menurun.

Kukenal tiga perempuan tua menghuni rumah itu. Yang pertama bernama basse. Orang-orang memanggilnya bibi basse yang artinya : nenek basse.

Bibi basse sudah bungkuk. Rambutnya uban semua dan sudah sakit-sakitan. Dia perawan tua. Aku tak tahu mengapa sampai ia jadi perawan tua. Aku hanya bisa menduga-duga, mungkin ia pilih-pilih laki-laki. Terlalu selektif, bahasa modernnya. Boleh jadi juga karena orang tuanya yang terlalu selektif memilih menantu. Kasus seperti ini memang banyak terjadi di kampung kami. Karena orang tua terlalu pilih-pilih sehingga anak perawan mereka teronggok di dalam rumah sampai uzur. Alasan strata, atau dendam masa lalu antar orang tua, membuat perawan-perawan tua dan bujang-bujang lapuk,bertebaran di mana-mana.

Ya, kalau diamat-amati, Bibi basse itu mungkin tidak jelek-jelek amat di masa mudanya.

Yang kedua bernama Hisu. Bibi Hisu. Aku sudah mahfum kalau tidak ada laki-laki yang suka padanya. ( saat ini memang sedang kupakai sisi iblisku untuk menilai orang secara jujur). Ya, bibi hisu, pada bibirnya ada semacam bekas panu warna putih. Kata orang bekas penyakit kulit sejenis kusta (dan kawan-kawan). Hingga bibir itu berdower seperti bibir ikan mas koki ( trims iblis yang telah mengajariku kata-kata “indah”).

Yang ketiga bernama bibi menri. Kalau tidak salah, dialah yang termuda dari ketiga bibi-bibi yang bersaudara ini. Bibi basse dan bibi menri adalah pertu ( perawan tua) sementara bibi menri janda, tetapi telat menikah dan tidakm punya anak.

Suami bibi menri yang telah mendiang adalah duda beranak bernama daeng taro. Daeng taro adalah juru baca doa dengan dupa-dupa menjelang bulan puasa atau lebaran. Nama daeng taro itu sendiri mengingatkan aku pada kotaro minami, pahlawan anak kecil dalam serial kegemaranku, satria baja hitam rx. Dengar kata “taro” juga membuatku tiba-tiba teringat pada merk makanan ringan.

Daeng taro juga sudah uzur, bungkuk dan peot sehingga pipinya yang keriput seperti ombak jika bibirnya yang imut komat-kamit baca doa.

Kalau magrib tiba menjelang ramadhan, berkumpul kami sekeluarga di depan dulang berisi songkolo aam dan telur, di dawah kepulan asap dupa bersama juru doa daeng taro. Seperti inilah akibat akulturasi sisa-sisa budaya hindu dan islam di kampong kami. Baca doa pakai bahasa arab, tetapi diiringi dengan kepulan dupa.

Adalah kegembiraan tersendiri di masa kecil kami jika berhasil mendapat telur yang disimpan di atas songkolo atau nasi ketan yang sudah didoa-doai itu. Sayangnya daeng taro ini pelit. Sudah dikasih uang passidakka dari bapak, terurnya diumpetin pula ke dalam saku. Mungkin untuk bibi menri. Daeng taro ini payah, kata kami.

Saat diary ini tertulis, daeng taro sudah berada di alam barzah. Kalau dulu beliau yang baca doa untuk orang yang telah meninggal, sekarang arwah mereka telah “bergabung”. Masa untuk menyusul daeng taro itu juga pasti akan datang padaku. Dan juga padamu! ( pembaca tulisan ini).

Haru-biru langit bandung , 8 agustus 2008

“ingat anak muda, jika engkau bisa mencintai orang-orang yang berbuat jahat padamu, maka badai terdahsyat pun tak akan sanggup merobohkanmu”

Monoton, basi, tetapi rasanya kian mengiris.

Jika aku biarkan aco dan ammak bicara lama-lama di telepon, maka tidak lain dan tidak bukan, dorongan yang diberikan untukku adalah kata-kata keluhan yang instrumennya adalah isak tangis, di mana setiap butirannya adalah lidah api neraka bagiku. Coba bayangkan kawan. Betapa besar laksa dosa yang akan meleburku jika wanita yang menangkup surga di bawah telapak kakinya itu, kini kubikin menangis. Aku telah membuat ammakku menangis untuk ke sekian kalinya.

Aku hilang kata-kata. Hanya bisa diam sambil sesekali menghela napas panjang. Rasanya sesak. Seperti ada duri yang menusuk-nusuk dadaku. Dunia serasa dikelilingi lautan air mata saja, dan tidak ada satu pulau pun yang bisa disinggahi untuk membuang kesedihan. Kebun-kebun yang digadaikan. Hinaan-hinaan keluarga dan seisi kampong. Tentang adikku yang sering pulang ke rumah sambil menangis, tak tahan dengan segunung cercaan dan cacian yang ditimpakan pada kakaknya.

“bikin apa saja kakakmu di bandung sana. Habis harta orang tuamu digadaikan ke sana ke mari. Mana hasilnya. Ah belum makassar, jakarta. Belum jakarta bandung lagi. Macam-macam saja. Mending pulang kampung saja. Tanam cengkeh. Tanam vanili. Ah… kakakmu itu bla bla bla…”

Aku melempar pandang ke langit. Langit biru bandung di hari jumat, 8 agustus 2008. Ah…

Dan di seberang sana tak henti gelontoran kata-kata itu seperti meriam yang ditembakkan pas ke bilik hatiku. Begitu pilu. Aku sampai bergetar. Rasanya ingin kugeletakkan saja kepalaku di punggung bumi dan kuminta pada mereka satu-satu untuk melindasnya dengan telapak kaki ketimbang harus diguyur dengan kata-kata.

Tapi langit bandung hari ini tetap biru. Malahan semakin biru. Mungkin dia menertawaiku.

Aku jengkel. Dalam diamku itu, segepok awan kukulum dan kutelan tanpa kukunyah. Rasanya memang berat. Aku bersumpah. Tak akan pernah tinggal di selayar sebelum orang orang memandangku sederajat dengan minimal bupati. Ya, tidak akan tinggal di selayar sebelum orang-orang di seluruh pulau kecil itu mengakui bahwa aku sederajat dengan bupati. Ingat kawan, suatu saat akan kubuat mereka menyuruk-nyuruk mencium bumi . Akan kubuat mereka menyuruk-nyuruk mencium bumi, menginjak-injak kesombongan mereka!

Ah… mungkin aku telah menulis dengan emosi. Iblis di sekitarku menari-nari. Padahal sesungguhnya jauh di dalam hatiku lamat-lamat terdengar bisikan seorang manusia agung dari tanah arab yang hidup di abad 7 m.

“maafkanlah mereka, anak muda”, katanya. “kalaupun engkau hendak membalas, balaslah dengan kebaikan. Mulai hari ini, tolong berjanjilah padaku, bahwa engkau akan membasmi setiap benih kebencian yang tumbuh di hatimu. Jangan biarkan ia menjelma menjadi dendam. Harus kau sadari bahwa itu mereka lakukakan karena mereka tidak tahu, betapa engkau amat mencintai mereka”.

Aku diam.

“anak muda, bukankah engkau punya mimpi, ingin membangunkan untuk mereka kincir angin terbaik?”

Aku mengangguk pelan

“ bukankah engkau punya mimpi ingin membangunkan untuk mereka sebuah turbin air yang meraung-raung menerangi setiap rumah?”

Melihat aku cuma bisa diam, ia memberondongkan lagi beberan dari rahasia sabdanya tanpa ampun bersamaan dengan gelontoran suara ammak dari seberang.

“bukankah engkau punya mimpi bahwa di sana mereka akan menyaksikan sebuah benda serupa cermin menghadap ke langit yang mampu menyadap setiap keping cahaya matahari untuk dibikin listrik? Dan bukankah engkau punya mimpi, bagaimana sekiranya mereka bisa mejual hasil kebun mereka ke luar negeri tanpa dipotong oleh tengkulak. Pohon-pohon kelapa engkau sulap menjadi sumber bahan baku kerajinan bernilai ekspor. Pohon-pohon bambu tidak sekedar dibikin atap, tetapi mungkin menjadi sebuah material yang dicari-cari para teknokrat. Ah, betapa tingginya mimpimu itu, anak muda. Dan betapa indahnya”.

Aku tidak bergeming.

“aku pernah bilang, “tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri cina”. Dan engkau telah mengamini itu. Sekarang genggamlah kuat-kuat mimpi itu. Dan sekali lagi, buang semua benci dan dendam yang mengotori hatimu. Tukar benci itu dengan cinta. Cintailah orang-orang yang menyakitimu. Cintailah orang-orang yang menjahatimu. Mintalah pada allah agar mereka diberi keselamatan. Itu akan membuat genggaman mimpimu semakin erat, dan engkau semakin kuat melangkah. Ingat, anak muda, jika engkau bisa mencintai orang-orang yang berbuat jahat padamu, maka badai terdahsyat pun tak akan sanggup merobohkanmu…”

Sekali lagi kutolehkan kepalaku ke langit bandung. Sama saja. Masih tetap biru dengan awan-awannya yang tebal dan tipis. Tapi kali ini, awan-awan itu tersenyum…

Mess sesa, 8 agustus 2008

Habis bangun dari tidur siang, badan rasanya kaku nian. Setelah mandi sore , keadaan agak mendingan. Tapi badan seketika dingin. Dan malamnya tubuh terasa berat. Mood down. Berpikir pun terasa berat. Menjengkelkan sekali…

Penggalan Kisah Anak Buki-Buki

Laki-laki Petani, Bertubuh kecil dan berkulit hitam

Laki-laki itu seorang petani. Tubuhnya kecil dan kulitnya hitam

Aku tak tahu kapan mulai mengenalnya. Samar-samar saja kuingat ketika tubuh kecilku diangkat tinggi-tinggi dan rasanya badanku melayang di udara. Aku terkekeh. Saat ia gemas, dengan dagu tirusnya yang kasar seperti ampelas karena bekas jenggot yang baru dicukur, digosoknya pipiku. Aku merasa geli hingga kekehku berubah menjadi cekikikan. Ah, barangkali saat itulah aku belajar mengeja sebuah kata agung dengan terbata-bata, Ba…pak. Ba…pak.

Laki-laki itu hanya seorang petani. Tubuhnya kecil dan kulitnya hitam

Namun di situ pula letak kekagumanku. Ia tak pernah kudengar mengeluh, walaupun telah terperas keringatnya semenjak matahari tersembul di kaki langit sampai hilang dikatup bibir senja. Kebun adalah tempat bekerjanya sekaligus tempat rekreasinya. Itu sebabnya tak pernah ada gerutu saat menapak setapak berbatu menuju ke kebun. Dengan tangan diselikut ke belakang, ia melangkah cepat sembari bersiul menggoda beburungan di dahan-dahan.

Sungguh, ia membuatku merasa beruntung. Di negeriku yang gersang kejujuran, ia memberiku makan dari peras peluhnya sendiri, sehingga aku yakin bahwa aku dibesarkan dengan rezeki yang halal. Karena petani tak kenal korupsi…

Laki-laki itu hanya seorang petani. Tubuhnya kecil dan kulitnya hitam

Tapi jangan kau sangsikan kekokohan tubuhnya. Otot-ototnya terasah dari terjal bebukitan seolah tak akan rubuh oleh badai sekalipun. Dan jangan kau remehkan kekuatan jari-jarinya. Sekali tempeleng, seandainya ia pernah menempelengku, mungkin kulit mukaku akan terkelupas. Ia telah akrab dengan benda-benda kasar seperti parang, linggis dan cangkul. Ia juga sering bercengkerama dengan panas mentari. Jika ia berdiri menantang angin pegunungan, ia tampak begitu perkasa.

Laki-laki itu hanya seorang petani. Tubuhnya kecil dan kulitnya hitam

Tapi tahukah engkau teman, dialah yang mengajariku menulis dan melafalkan huruf, kata dan kalimat sebelum aku mempelajarinya di bangku sekolah. Dia adalah guru Bahasa Indonesiaku yang pertama.

Dia pula yang menjadi guru matematikaku saat mengajariku menghitung dari lidi-lidi ijuk.

Teman, suatu hari ia mendeklamasikan sebuah puisi tanpa meliha teks. Kiranya puisi ini pernah ia hafal sewaktu duduk di bangku SPG. Dengan penuh ekspresi, ia muncul dari balik tirai pintu yang ia bayangkan sebagai sebuah panggung raksasa. Sambil menepuk jidatnya, ia memulai :

Menyesal/pagiku hilang sudah melayang/hari mudaku sudah pergi/ kini petang datang membayang/ batang usiaku sudah tinggi

Melihat ekspresinya yang menunjuk-nunjuk dan merentangkan tangan ke sana ke mari, geli aku dibuatnya. Kututup mulutku dengan telapak tangan, takut dianggap tidak serius. Ya, saat itu aku sedang dilatih membaca puisi untuk sebuah acara peringatan di sekolahku. Dan tentunya ia sangat tidak ingin kalau anaknya terlihat memalukan di tengah acara yang akan dihadiri pejabat dari kota itu. Belakangan baru aku tahu kalau puisi berjudul Menyesal itu dikarang oleh A. Hasjmi.

Ada lagi puisi yang ia lafalkan sembari menunjuk-nunjuk mulut. Judulnya, Makan Kolak

Makan kolak/ terbit liurku melihat kolak/ dijual orang di tepi jalan/ untung teringat nasehat ibu/ di situ aku dilarang makan

Oh, Ia mendongengkan aku cerita tentang seorang anak bernama Si pandai yang berhasil menjadi raja karena kecerdasannya. Ketabahan La pung kura-kura ( Si kura-kura) melawan La pung dare-dare ( Si monyet), dan kelihaian La Pakanja ( Abu Nawas versi daerah kami) melawan raja. Dia mengajariku mencintai kebijaksanaan lewat dongeng.

Laki-laki itu hanya seorang petani. Tubuhnya kecil dan kulitnya hitam

Suaranya memang tak semerdu kutilang. Malah kedengaran seperti keresek dedaunan. Tapi ia mengenalkan aku pada Halo-halo Bandung, Sorak-sorak Bergembira, dan Hari Merdeka. Oh, guru seniku yang pertama.

Bukan itu saja. Suatu hari, dibelikannya aku berlembar-lembar kartu mainan bergambar Teuku Umar, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dan Kapitan Pattimura. Yakin sekali aku bahwa dari kartu-kartu itu, aku mulai mengenal pahlawan-pahlawan nasional. Ia memberi tahu aku bahwa D. N Aidit itu adalah kepanjangan dari Dipa Nusantara Aidit. Hal-hal sederhana inilah yang membuatku begitu penasaran dengan sejarah.

Duh teman, tapi kalau belajar mengaji dari dia, aku tidak tahan. Ia cenderung keras hingga tak ada yang masuk-masuk. Akhirnya ia sadar bahwa ia membutuhkan pertolongan dari seorang guru di TPA.

Sekali waktu aku pernah diajari menghapal empat penjuru mata angin beserta dua belas mata angin tambahan setiap bergeser tiga puluh derajat. Diajariku menghapal pulau-pulau besar di Indonesia dan melagukan nama-nama pulau mulai dari Bali sampai Rote. Tak lupa pula ditambah dengan nama-nama pulau di Kepulauan Selayar.

Laki-laki petani. Tubuh kecil dan kulit hitam

Apa lagi? Dia mengenalkan aku pada sains. Bahwa ternyata kertas pembungkus dalam rokok adalah campuran logam yang dapat menhantarkan arus listrik. Ia bisa menjadi pengganti kabel untuk mengalirkan arus listrik dari baru baterai ke bohlam senter. Dibuatkannya pula aku sebuah telepon mainan dari kaleng susu bekas. Lalu ia memberi tahu aku tentang Apollo 11, kendaraan yang membawa Neil amstrong dan Edwin Aldrin mendarat di bulan.

Padahal Laki-laki itu hanya seorang petani. Tubuhnya kecil dan kulitnya hitam

Dia mengajari aku tentang kesetiaan. Kesetiaan pada istri dan anak, tanpa harus menceramahi atau mengkhotbai.

Dia mengajari aku menjadi seorang laki-laki. Dia pernah mengancam tidak memberi makan sewaktu aku pernah lari saat berkelahi. Akhirnya aku nekad menghadapi musuhku yang badannya jauh lebih besar.

Dan laki-laki petani, tubuh kecil, dan kulit hitam mengajarkan padaku tentang keikhlasan berkorban demi ilmu.

“Belajar dan belajarlah setinggi-tingginya. Biar tanah kebun habis tergadai dan terjual, tidak apa-apa. Yang penting engkau bisa sekolah. Karena apa? Karena dulu bapak tak sempat mengenyam pendidikan tinggi. Itu makanya besar sekali semangat bapak menyekolahkanmu. Bapak tidak ingin nasibmu sama dengan nasib bapak. Bapak ingin kau lebih dari bapak”

Jika kata-kata ini terngiang kembali di telingaku, dadaku rasanya sesak. Pandanganku tiba-tiba mengabur oleh selaput bening. Satu dua bulir tertohok keluar. Dan secara perlahan, tanganku mengepal.

Tak kusangkal lagi bahwa laki-laki itu telah mengajarkan banyak hal dalam hidupku.

Oh, bapak, laki-laki petani, bertubuh kecil dan berkulit hitam. Engkau adalah guru yang pertama sekaligus hero yang pertama dalam hidupku. Kadang aku bertanya sendiri, apa bisa aku menyamai kehebatanmu?

Bandung, 24 Agustus 2008

Penggalan Kisah Anak Buki-Buki

Palingkasala

“Jika musim kemarau datang, hati-hatilah jika keluar malam-malam”, begitu pesan para orang tua di kampung. “Jangan bersiul pada waktu sore atau malam hari. Nanti dikira temannya palingkasala”, lanjut mereka sembari berbisik-bisik, seolah “pesan keramat” itu tak boleh diketahui siapa pun.

Palingkasala! Orang-orang takut pada palingkasala. Walaupun palingkasala bukan sejenis jin atau roh jahat. Tetapi manusia. Ya, manusia biasa.

Kalau dilacak dari etimologinya. Palingkasala berasal dari kata palingka ( bahasa selayar) yang berarti =pejalan, dan sala yang berarti =salah. Maka palingkasala adalah pejalan dengan tujuan yang salah atau tidak benar. Kebanyakan orang di kampungku sendiri menganggap bahwa palingkasala adalah seseorang atau sekelompok orang tak dikenal yang bisa muncul tiba-tiba di malam hari pada musim kemarau, dengan tujuan iseng menggangu orang. Komplotan palingkasala tidak mencuri ataupun merampok. Mereka hanya menakut-nakuti dengan memukul-mukul dinding atau tiang rumah.

Apa motif mereka melakukan aksi iseng ini?

Dari mulut orang-orang tua, aku mendengar bahwa palingkasala pada umumnya memiliki ilmu aneh, salah satunya adalah ilmu terbang atau ilmu lompat tinggi, tetapi ilmu tersebut meminta syarat darah mereka sendiri. Artinya ilmu ini baru bisa mempan jika darah mereka dikeluarkan dengan “besi” (badik atau parang) minimal sekali setahun. Jika persyaratan ini tidak dipenuhi, maka kulit mereka akan dijangkiti penyakit lepra. Itu sebabnya. tiap musim kemarau, (karena barangkali palingkasala juga malas hujan-hujanan), mereka bepergian ke kampung-kampung lain dimana mereka tidak dikenali dan mengganggu orang, agar diburu dan dilukai hingga keluar darahnya. Inilah yang sesungguhnya diinginkan oleh palingkasala.

Konon palingkasala susah ditangkap karena seperti yang kuceritakan di atas, mereka memiliki ilmu lompat tinggi atau bahkan ilmu terbang. Mereka bisa melompati tujuh bubungan rumah sekaligus dalam satu kali lompatan. Jika mereka memegang ujung benang roda dan dibawa melompat, maka gulungan benang tersebut akan habis. Dari sini Muncul istilah Lompatan segulung benang roda.

Cerita mengenai pertemuan orang-orang di kampungku dengan palingkasala lebih banyak seramnya. Bapak Toa (panggilan untuk kakekku), pernah bercerita bahwa suatu malam, beliau pernah bertemu palingkasala di sebuah jalan setapak kecil. Palingkasala itu cuma satu orang dan sepertinya memang sengaja menunggu kedatangan beliau. Beberapa langkah sebelum berpapasan, tiba-tiba palingkasala itu melompat tinggi, kakinya diarahkan untuk menjepit kepala Bapak toa. Untungnya beliau merunduk cepat sehingga jepitan kakinya meleset. Setelah serangannya gagal, palingkasala pun kabur. Kadang palingkasala memang tidak hendak mencelakai orang. Mereka hanya ingin menguji keberanian saja. Dan kalau yang diuji kelihatan berani, maka palingkasala lebih memilih kabur.

Namun karena sering mengganggu orang, tidak sedikit di antara mereka yang mati menggenaskan. Di dekat kampung kami, ada sebuah pohon beringin yang konon pernah menjadi tempat persembunyian palingkasala yang luka parah setelah dianiaya penduduk. Entah benar, entah tidak, cerita pun dibumbuhi sedemikian rupa sampai konon, saking terasa sakitnya luka yang diderita, ia menggigit akar beringin sampai putus ! Diyakini bahwa palingkasala itu bersembunyi di situ dari bekas darah yang didapati penduduk. Palingkasala-nya sendiri telah dibawa pergi oleh temannya.

Banyak juga yang mati sebelum sempat kembali ke kampung mereka. Banyak orang bercerita bahwa mereka pernah menjumpai ada mayat tak dikenal di semak-semak ketika mereka jalan ke kebun. Bahkan juga ada palingkasala yang ketiduran di kebun orang. Ketika sang pemilik kebun datang dan membangunkan orang asing ini, maka reaksi mereka tidak lain adalah, kabur!

Kehidupan palingkasala konon cukup unik. Istri mereka biasanya pandai berkebun seperti laki-laki. Ini barangkali konsekwensi dari aktivitas tambahan suaminya, jika suatu saat suami mereka meninggal saat “beraksi”. Ketika suami mereka sedang keluar dalam rangka melancarkan aksinya, maka sang istri menunggu di rumah dan tidur berbantalkan pappalang, yakni berupa balok kayu tempat menaruh sesuatu untuk dipotong. Apabila pappalang yang dijadikan bantal itu terguling, maka ini pertanda bahwa suami mereka sedang berada dalam bahaya atau bahkan telah tewas terbunuh.

Ternyata cerita palingkasala tidak hanya terdapat di Daratan Selayar, tetapi telah menyeberang ke Pulau Pasi. Hal ini kuketahui saat bertugas sebagai penagih koperasi di pulau itu. Seorang wanita tua bercerita bahwa sewaktu ia kecil, bapaknya sering membunuh palingkasala, lalu hati dan jantungnya diambil untuk dibikin bumbu masakan. Sadis…

Sampai saat ini, cerita tentang palingkasala di kampungku masih ada. Masih ada orang yang bercerita bahwa tadi malam, atau kemarin malam, ada yang mengetuk-ngetuk dinding rumahnya. Entah siapa dan dari mana. Tetapi untuk lebih amannya, mereka memilih untuk diam. Tidak menanggapi apa-apa, biar palingkasala itu pergi sendiri.

Rawa rotan, 13 September 2005

Daeng Malukmu

Laki-laki itu bernama Daeng Malukmu. Sering sekali kami berpapasan ketika jalan pulang dari kebun. Ia tidak jalan sendiri. Tetapi bersama dengan teman sejatinya, seekor kerbau tambun kelabu berlumur becek dan dikerumuni serangga di sana-sini. Maka Sapalah dia dengan panggilan Baso.

“Oe Baso!”

“Oe”, jawabnya agak datar, tetapi di bibirnya mengembang senyum yang membuat kulit pipinya berlipat-lipat. Lamban ia menarik tali kerbaunya. Di pinggangnya tergantung parang.

Pada kesempatan lain, ia berkumpul bersama orang-orang jika ada kenduri. Duduk menonton orang bermain domino dan amat rajin jika disuruh-suruh.

“Baso, ini dibawa ke rumah sebelah”, perintah seorang ibu menyodorkan sekeranjang nasi. Daeng Malukmu berdiri tergopoh-gopoh dan melaksanakan perintah ibu itu dengan segera.

“Baso, air habis!” teriak yang lain.

Daeng Malukmu pun menghilang beberapa lama dengan dua ember plastik kosong dan sebuah pikulan dari bambu, lalu muncul dengan sepasang ember berisi air penuh di pundaknya. Mukanya berleleran keringat.

“Ai, I Baso sudah seharusnya dicarikan istri. Dia rajin sekali”, puji seorang bapak bersarung yang duduk main domino. “Mau kucarikan istri, Baso?”

Baso Malukmu hanya bisa nyengir senang. Kerut di pipinya tidak berkurang. Giginya kelihatan.

Kalau ada sekumpulan laki-laki duduk bercerita, Daeng Malukmu juga ada di sana. Duduk mendengarkan dan tak pernah mengomentari. Tangan menopang dagu dan mengasyik-asyikkan mata melihat komat-kamit bibir orang. Kalau cerita itu ditanggapi lawan bicara, maka mata Daeng Malukmu pun beralih pada Si Penanggap. Begitu berulang-ulang. Mulut Daeng Malukmu sepanjang jadi penonton itu tidak berhenti mangap-menganga, seakan selalu kagum dengan bahan cerita orang-orang yang ditontonnya.

Kalau dipanggil makan, Daeng Malukmu terkesan malu-malu sipu, walaupun lambat laun, dengan gerakan lamban, datanglah jua ia menghampiri meja, mengambil nasi dan lauk, dan makan dengan lahap. Ototnya yang besar, kupikir karena ia pekerja yang keras, sekaligus pemakan yang lahap. Ia seorang petani yang mengayunkan parang dan cangkul tiap hari. Betisnya berotot karena setiap saat mendaki bukit-bukit terjal di kampung kami.

Barangkali kata-kata bapak di kenduri itu masuk di akal orang tuanya, maka suatu hari, datanglah orang tua Daeng Malukmu ke rumah seorang janda beranak satu, hendak melamar sang janda.

Kenyataan jauh dari harapan. Dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, lamaran itu ditolak, baik oleh orang tua sang janda maupun dari sang janda sendiri. Seperti biasanya di kampung kami, penolakan lamaran tidak akan berlangsung mulus, tetapi minimal dengan sedikit pertengkaran.

“Kamu mestinya beruntung dapat lamaran dari saya, karena walaupun begini-begini, anak saya ini opu”, kata orang tua Daeng Malukmu.

“Bawa pulang saja opu-mu. Anak saya tidak suka bersuamikan anakmu. Dan saya juga tidak sudi bermantu dengan anakmu!”, tanggap orang tua sang janda tak mau kalah.

Sekali waktu, muncul lagi cerita baru. Seorang gadis berumur yang katanya pernah disembunyikan setan, dijodoh-jodohkan orang dengan Daeng Malukmu. Gadis itu dipanggil dengan nama Nuru. Mungkin nama aslinya Nur.

Nuru Tidak kalah uniknya dibanding Daeng Malukmu. Kalau diajak bicara, harus diperlihatkan gerak bibir kita karena pendengarannya yang rada-rada kurang. Nuru juga biasa datang ke kenduri. Tampil bergaya dengan pakaian bagus-bagus, atau duduk di depan tungku masak dan beringus serta berleleran air mata. Bukan karena sedih, tetapi karena asap dari kayu yang memedihkan mata. Nuru adalah gadis berumur yang rajin. Maka amat klop jika dipasangkan dengan Daeng Malukmu, kata mereka.

Cerita dibikin seru. Mereka mengarang-ngarang teori bahwa pasangan dungu akan melahirkan anak cerdas, teori yang mungkin bisa membuat Charles Darwin atau Hitler bangkit dari kuburnya dan marah-marah. Maka seandainya perjodohan antara Daeng Malukmu dan Nuru terjadi, mereka berjanji akan menyisihkan sebagian kekayaan mereka untuk menyukseskan pesta perkawinan itu.

Tetapi nampaknya orang-orang lain saja yang sibuk. Dua sejoli ini tidak memikirkan apa-apa. Tidak tampak raut kecewa atau pun patah hati di roman muka Daeng Malukmu ketika lamarannya ditolak. Tidak pula ambil pusing ketika digosipkan dengan Nuru. Setiap ketemu, ia selalu konsisten dengan senyumnya yang melipat-lipat pipi. Dengan sekeranjang rumput di punggung untuk makanan kerbau atau kuda, ia berjalan seperti tidak membawa beban apa-apa.

Barangkali Dalam kamus hidup Daeng Malukmu, tidak ada kata cinta dan wanita seperti apa yang dirasakan orang kebanyakan. Ia punya cinta menurut versinya sendiri. Cinta menurutnya adalah sebuah dorongan yang membuat ia tidak mengenal lelah untuk keluar setiap hari agar kuda dan kerbaunya tidak kelaparan. Barangkali ketika menghela kerbau atau saat berleleran keringat di padang penggembalaan, di situ ia merasakan cinta, dan hanya ia sendiri yang bisa merasakannnya...

Pesan

Sewaktu kecil di tanah Seram, aku belajar ditinggal Ammak ke kota Masohi dengan disogok ketapel cabang pohon jeruk oleh bapak. Perhatianku pun beralih ke ketapel mainanku yang diberi pegas dari karet gelang dan diisi batu. Aku tidak sedih dan tidak menangis lagi seperti sebelum-sebelumnya. Tidak cengeng lagi seperti anak perempuan.

Namun di Selayar, ketika Bapak lupa membuatkan aku mainan saat Ammak hendak berangkat ke Kota Benteng, perhatianku tak bisa dialihkan lagi. Hanya satu keinginanku saat itu, ikut dengan Ammak melihat Kota Benteng.

Tetapi Ammak tidak mau membawaku. Barangkali karena kebandelanku. Aku adalah manusia kecil yang tidak boleh melihat orang jualan mainan. Karena aksiku cuma satu, mengepit mainan orang yang kusukai dan kubawa lari! Ammak-lah yang repot. Karena tidak mungkin aku merelakan mainan yang sudah dicuri itu dikembalikan pada yang punya. Terpaksa harus dibayar. Dan untung kalau ada uang. Itu sebabnya sehingga Ammak malas membawaku.

Ammak tak mau membawaku. Maka aku menangis dan melolong sejadi-jadinya. Aku tidak peduli dengan cubitan dan hantaman telapak tangan di pantat. Agar bisa lolos, Ammak pun menjanjikan macam-macam. Akan dibelikan mainan ini dan mainan itu. Aku setuju. Reda tangisku, berganti dengan harapan.

Sepanjang hari aku menanti. Setiap ada mobil yang lewat, aku berlari ke serambi. Mungkin di mobil itu ada ammak. Tapi aku kecewa, karena mobil itu tidak singgah. Aku menunggu lagi.

Kini ada mobil yang melambatkan lajunya ketika sampai di depan rumah.

“Ai, itu ammakku datang!”

Aku berlari membantu Ammak menurunkan barang belanjaan dari mobil dan kuperiksa satu-satu. Mungkin di kantong ini mainan pesananku. Tidak ada. Mungkin di kantong itu. Tidak ada juga.

“Mak, mainan pesananku mana?” tanyaku

“Alah, Baso. Tadi orang di pasar ramai sekali”, kata Ammak.

“Ramai, ya?” tanyaku balik

“Tahu kenapa?”

Aku menggeleng

“Penjual mainan yang ammak lihat tempo hari itu sudah meninggal?”

Duh, betapa kecewanya hatiku. Kalau penjual mainannya meninggal, berarti mainanya tidak jadi dibeli.

Di hari yang lain, ketika aku merengek ingin ikut dengan Ammak ke Benteng, tak kuberi lagi toleransi. Tak mempan lagi aku dengan janji-janji. Aku meraung dan berontak. Bapak menahanku. Tak dibiarkan aku menyusul ammak naik ke mobil. Tenaga kecilku tak berdaya melawan tenaga bapak. Kulihat ammak naik ke mobil dengan tergesa. Mobil bergerak. Makin lama makin jauh. Jeritku bertambah. Aku mencakar-cakar, tetapi tetap tidak bisa apa-apa. Aku tidak mungkin bisa berlari menyusul mobil yang melaju kencang.

Aku beranjak besar dan kampung serta kota kecilku tidak mampu lagi menampung keinginanku untuk lanjut belajar ke kota di seberang. Aku akan berangkat ke kota yang lebih jauh. Ya, kini giliran aku yang ke kota.

Keadaan jadi berbalik dengan masa kecilku. Sekarang aku yang akan meninggalkan Ammak dan bapak. Ammak dan bapak tidak mungkin memesan mainan seperti ketika aku memesan mainan pada mereka dulu. Tetapi mereka berpesan, Baso, hati-hati di tanan rantau.

Ya, Kini giliran aku yang meninggalkan Ammak dan Bapak .

Ammak menangis. Bapak sendu.

Apakah ini sebuah pembalasan?

Rawa Rotan, 22 September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar